Sandal Bilal bin Rabah

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW berkata kepada Bilal pada waktu shalat shubuh, “Wahai Bilal, ceritakan kepadaku tentang amalan dalam Islam yang memberi manfaat kepadamu, karena sesungguhnya tadi malam aku mendengar suara sandalmu di syurga.”

Lalu Bilal berkata, “Aku tidak melakukan amalan apa-apa dalam Islam yang dapat memberi manfaat kepadaku, kecuali tidaklah aku bersuci dengan wudhu yang sempurna pada waktu malam ataupun siang kecuali aku melaksanakan shalat dengan wudhu tersebut.” (HR Muslim)

Sumber: Kitab 300 Mauqif fi az-Zuhd war Roqoiq, hal 83

[+/-] Selengkapnya...

Rumah Salman Al-Farisi

Salman Al-Farisi berkeinginan membangun sebuah rumah. Maka ia bertanya kepada tukang bangunan, “Bagaimana engkau akan membuatkan rumah untukku ?”.

Tukang bangunan itu adalah orang yang cerdas dan mengetahui kezuhudan Salman, lalu ia menjawab:

“Jangan khawatir! Rumah ini akan melindungimu dari panas dan kau dapat tinggal di dalamnya tanpa kedinginan. Apabila kau berdiri, maka kepalamu akan menyentuh atapnya. Dan apabila kau berbaring, kakimu akan menyentuh dindingnya.”

Lalu Salman berkata, “Ya. Maka buatkanlah aku rumah seperti itu.”

Sumber: Kitab 300 Mauqif fi az-Zuhd war Roqoiq, hal 78


[+/-] Selengkapnya...

Kejujuran Seorang kholifah

Ketika Khalifah Umar bin Khattab berkeliling pada suatu malam di jalan-jalan kota Madinah untuk mengetahui keadaan masyarakatnya, ia duduk bersandar pada sebuah dinding rumah karena lelah. Maka tatkala itu ia mendengar suara seorang wanita kepada anaknya, "Bangunlah wahai putriku, ambillah susu itu lalu campurlah dengan air".

Maka Umar diam dan mendengarkan dengan seksama apa yang akan dijawab oleh anak perempuan itu pada ibunya,
"Wahai ibuku apakah engkau mendengar apa yang dikatakan Khalifah Umar pada hari ini?"

Ibunya berkata: "Apa itu wahai anakku?"

Anaknya menjawab: "Khalifah Umar berkata agar tidak seorangpun yang mencampur susu dengan air".

Sang Ibu berkata: "Wahai anakkku, bangkitlah.. lalu isislah susu itu dengan air, sesungguhnya engkau ditempat yang tidak ada umar".

Putrinya menjawab: "Wahai ibuku, demi Allah aku tidaklah mentaatinya di depannyaa saja, lalu melanggar di belakangnya"


Ketika itu Umar bersama seorang bernama Aslam. Maka pada pagi harinya Umar menyuruh Aslam untuk pergi ke rumah tersebut, dan melihat sipa perempuan itu, dengan siapa ia tinggal. Maka tatkala Aslam kembali kepada Umar ia berkata; "Perempuan itu hanya tinggal bersama ibunya dan ia tidak memiliki suami."

Lalu Kholifah Umar melamar perempuan itu untuk anaknya 'Ashim, ia adalah sebaik-baik perempuan yang terkumpul pada dirinya, amanah, akhlak mulia dan agama. Maka ia menikah dengan Ashim bin Umar, maka lahirlah dari anak Ashim nantinya (Cucu Ashim) seorang khalifah yang adil Umar bin Abdul Azis.

Sumber : Kitab 300 Mauqif fii Az-Zuhd wa Ar-Roqoiq, hal 37


[+/-] Selengkapnya...

Syarat Diterimanya Syahadat

Sebagai seorang mukmin yang telah mengucapkan syahadat dan memahaminya hendaklah berusaha menjaga syahadat yang ia yakini itu dari penyakit futur atau kendor dan lemahnya keimanan. Untuk itu seorang muslim perlu mengetahui bagaimana syahadat yang ia ucapkan itu diterima atau ditolak. Untuk diterimanya syahadat maka diperlukan beberapa persediaan yaitu berupa ilmu, yakin, ikhlas, shidqu atau kebenaran, mahabbah atau kecintaan, qabul atau penerimaan dan amal nyata. Juga kita perlu menolak beberapa hal berikut, yaitu berupa kebodohan terhadap syahadat, keraguan, kemusyrikan, dusta, kebencian, penolakan dan tidak beramal. Berikut akan kami jelaskan satu persatu :

A. Al-'Ilm Al-Munaafii Lil-Jahl (Ilmu yang menolak kebodohan)

Seorang yang bersyahadat mesti memiliki pengetahuan tentang syahadatnya. Apa yang melandasainya sehingga bersyahadat, ia memiliki ilmu dan pemahaman dengan syahadat, sehingga ketika mengikrarkan syahadat ia memahami arti dua kalimat ini serta bersedia menerima hasil ucapannya.

Orang yang bodoh tentang makna dua kalimat syahadat tidak mungkin dapat mengamalkannya. Manusia berkewajiban mempelajari laa ilaaha illa Allah, karena kunci mendapat rahmat dari Allah dan mendapatkan banyak kebaikan. Mereka yang bersyahadat adalah Allah SWT, malaikat, dan orang-orang yang berilmu (para nabi dan orang beriman). Sebagaimana Allah menjelaskannya di dalam Al-Quran: "Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah dan mohonlah ampun bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu. (QS 47:19)

B. Al-Yaqiin Al-Munaafii Lisy-Syak (Yakin yang Menolak Keraguan)

Seorang yang bersyahadat mesti meyakini ucapannya sebagai suatu yang diimaninya dengan sepenuh hati tanpa keraguan. Keyakinan akan membawa seseorang pada keistiqamahan, manakala ragu-ragu akan menimbulkan kemunafiqan. Iman yang benar ia tidak bercampur dengan keraguan. Karena mereka meyakina sepenuhnya ke-esahan Allah, janjinya yang akan mereka dapatkan dari Allah jika mereka melaksanakan tuntutan syahadat itu. Mereka tidak ragu untuk mengorbankan semua harta dan jiwanya untuk kepentingan perjuangan Islam. Dan di antara ciri mukmin adalah tidak ragu dengan Kitabullah dan yakin terhadap Hari Akhir.

Di dalam Al Quran dijelaskan : "Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar. (QS 49:15)

Dalam sebuah hadist Dari Abu Hurairah ra Rasulullah SAW bersabda, "Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Tidak ada seorang hamba yang bertemu dengan Allah dengan dua kalimat ini dan ia tidak ragu tentang kedua-duanya, kecuali ia masuk surga." (HR Muslim).

C. Al-Ikhlaash Al-Munaafii Lisy-Syirk (Ikhlas yang Menolak Kemusyrikan)

Ucapan syahadat mesti diiringi niat yang ikhlas lillahi ta'ala. Ucapan syahadat yang bercampur dengan riya' atau kecenderungan tertentu tidak akan diterima Allah SWT. Ikhlas dalam bersyahadat merupakan dasar yang paling kukuh dalam pelaksanaan syahadat. Perbuatan apapun yang mengandung kemusyrikan akan menghapus amal. Oleh karena itu amat merugi bagi manusia yang beramal tapi tidak ikhlas sehingga amalnya menjadi sia-sia tanpa makna. Ibadah yang tidak ikhlas tidak diterima oleh Allah SWT. Tidak ikhlas berarti juga menjadikan tandingan-tandingan selain Allah sebagai tuhannya. Allah berfirman : "Katakanlah: Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Maha Esa." Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya." (QS 18:110)

Dalam hadits Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi SAW bersabda, "Orang yang paling berbahagia dengan syafaatku adalah orang yang mengucapkan Laa Ilaaha Illa Allah secara tulus ikhlas dari hatinya, atau dari jiwanya."

D. Ash-Shidq Al-Munaafii Lil-Kadzib (Kebenaran yang Menolak Kedustaan)

Dalam pernyataan syahadat, seorang muslim wajib membenarkannya tanpa dicampuri sedikitpun dusta dan kebohongan. Pembenaran atas syahadat adalah landasan keimanan, sedangkan dusta adalah landasan kekufuran. Sikap sidik akan menimbulkan ketaatan dan amanah. Sedangkan dusta menimbulkan kemaksiatan dan pengkhianatan. Kebenaran yang diamalkan seseorang akan mempengaruhi tingkah laku dan pemikirannya. Mereka bertingkah laku dan berfikir dengan benar apabila bersikap sidiq.

Orang yang benar akan terbukti dalam medan jihad dan Allah SWT membalas mereka, sedangkan orang-orang munafik tidak saja mendustakan manusia tetapi juga berani berdusta kepada Allah. Kebenaran dan kemunafikan diuji melalui cobaan. Cobaan akan menjadi seleksi bagi seseorang. Sejarah menunjukkan bahwa cobaan merupakan cara untuk mengetahui siapa yang betul-betul berjuang di jalan Allah atau tidak sungguh-sungguh berjuang. Allah berfirman : "Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian", padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Alla penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih; disebabkan mereka berdusta. (QS 2:8-10)

E. Al-Mahabbah Al-Munaafiyah Lil-Bughdh Wa Al-Karaahah (Cinta yang Menolak Kebencian)

Dalam menyatakan syahadat ia mendasarkan pernyataannya dengan cinta. Cinta ialah rasa suka yang melapangkan dada. Ia merupakan ruh dari ibadah. Sedangkan syahadatain merupakan ibadah yang paling utama. Dengan rasa cinta ini segala beban akan terasa ringan, tuntutan syahadatain akan dapat dilaksanakan dengan mudah. Cinta kepada Allah SWT yang teramat sangat merupakan sifat utama orang beriman. Mereka juga membenci apa saja yang dibenci oleh Allah SWT. Seorang mukmin akan selalu mendahulukan kecintaan kepada Allah SWT, Rasul dan jihad dari kecintaan terhadap yang lain.

Allah berfirman : Katakanlah: "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatir kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik. (QS 9:24)

Dalam sebah hadits, Rosulullah bersabda: "Tiga hal, barangsiapa dalam dirinya ada ketiganya, maka ia mendapatkan manisnya iman. Bila Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya, bila seseorang mencintai orang lain dan ia tidak mencintainya kecuali karena Allah, dan apabila ia tidak ingin kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkan dirinya dari kekufuran itu sebagaimana ia tidak ingin dijebloskan ke dalam neraka." (HR Bukhari)

F. Al-Qabuul Al-Munaafii Lir-Rad (Menerima yang Jauh dari Penolakan)

Seorang muslim secara mutlak menerima nilai-nilai serta kandungan isi syahadatain. Tidak ada keberatan dan tanpa rasa terpaksa sedikitpun. Baginya tidak ada pilihan lain kecuali Kitabullah dan sunah Rasul. Ia senantiasa siap untuk mendengar, tunduk, patuh dan taat terhadap perintah Allah SWT dan Rasul-Nya. Mukmin adalah mereka yang bertahkim (berhukum) kepada Allah dan Rasul-Nya dalam seluruh persoalannya, kemudian ia menerima secara total keputusan Rasul, tanpa ragu-ragu dan keberatan sedikitpun. Ciri orang beriman ialah menerima, mendengar dan taat terhadap Allah SWT dan Rasul-Nya dalam seluruh masalah hidup mereka. Sebagaimana Allah berfirman : Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan, "Kami mendengar dan kami patuh." Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS 24:51)

G. Al-Inqiyaad Al-Munaafii Lil-Imtina' Wa At-Tark Wa 'Adama Al-'Amal (Pelaksanaan yang Jauh dari Sikap Statik atau Diam)

Syahadatain hanya dapat dilaksanakan apabila diwujudkan dalam amal yang nyata. Maka muslim yang bersyahadat selalu siap melaksanakan ajaran Islam yang menjadi aplikasi syahadatain. Ia menentukan agar hukum dan undang-undang Allah SWT berlaku pada diri, keluarga maupun masyarakatnya. Perintah Allah SWT untuk bekerja di jalan-Nya dengan perhitungan nilai kerja itu di sisi Allah SWT. Orang yang bekerja akan mendapat kehidupan yang baik dan mendapat balasan surga Allah SWT.

Allah berfirman :"Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan. (QS 16:9)



[+/-] Selengkapnya...

Husnul Khotimah Pembaca Al-Quran

Ada seorang shalih yang biasa membaca Al-Quran 10 juz. Suatu hari, dia membaca surah Yasin. Maka tatkala sampai pada ayat 24; Innii idzan lafii dhalaalin mubiin (sesungguhnya aku berada dalam kesesatan yang nyata), tiba-tiba ia meninggal dunia. Maka teman-temannya yang menyaksikan merasa heran dengan kejadian itu. Mereka pun berkata, "Sesungguhnya orang ini adalah orang yang shaleh. Bagaimana mungkin dia menyelesaikan Al-Quran dengan ayat ini?"

Setelah orang itu dikuburkan, seorang kawannya yang juga shaleh bermimpi tentang pembaca Al-Quran yang shaleh itu. Lalu ia berkata, "Wahai fulan, sesungguhnya engkau meng-khatam Quran dengan membaca ayat Innii idzan lafii dhalaalin mubiin. Bagaimana keadaanmu di sisi Allah di sana?"


Lalu orang itu menjawab, "Ketika kalian menguburkanku dan meninggalkanku, maka datang kepadaku dua malaikat dan bertanya, Siapa Tuhanmu? Aku pun menyempurnakan bacaan ayat selanjutnya Innii amantu birabbikum fasma'uun (Sesungguhnya aku beriman pada Tuhan kalian, maka dengarkanlah). Lalu dikatakan padaku, Qiila dkhulil jannah (dikatakan, masuklah ke dalam surga). Aku pun berkata, Qaala Ya laita qaumy ya'lamuun, bima ghafara lii Robbii wa ja'alany minal mukramin (Ia berkata; seandainya kaumku mengetahui terhadap ampunan Tuhan buatku dan menjadikanku orang-orang yang dimuliakan-Yaasin: 26-27)

(Sumber Al-Mujtama’ 7-13 Rabiul awal 1429 H)



[+/-] Selengkapnya...

Perkataan Hikmah

Ibnu Abbas ra berkata : “ Aku tidak pernah menyesal atas sesuatu melebihi penyesalanku terhadap hari yang terbenam mataharinya namun tidak bertambah amalanku”.

Imam Hasan Al-Bashri berkata : “Tidaklah berlalu satu hari dari anak Adam kecuali berkata kepadanya hari itu: Wahai anak Adam, sesungguhnya aku adalah hari yang baru, dan atas perbuatanmu aku menyaksikan. Dan jika aku telah pergi darimu, maka aku tidak akan kembali lagi padamu. Maka berikanlah apa yang hendak kau berikan. Maka kau akan dapatkan itu di depanmu. Dan akhirkanlah apa yang kau kehendaki. Maka sekali-kali ia tidak akan kembali kepadamu selamanya."


Imam Ibnul Qoyyim berkata : “ Sesungguhnya hati itu seperti pesawat, jika ia tinggi ia akan selamat dari bahaya, ketika menurun dan rendah ia kena bencana. “


Imam Ibnu Al-Jauzi berkata : “ Wahai pengharap surga! Dengan satu dosa bapakmu Adam as dekeluarkan dari surga, apakah engkau mengharapkan masuk ke dalamnya dengan dosa-dosa yang engkau belum bertobat darinya.”

Sumber : Kitan Alfu Qoulin Fi Zuhd wa Roqoid




[+/-] Selengkapnya...

Antara Niat Sang Abid dan Sang Ashi

Dikisahkan, ada dua orang bersaudara. Satu diantaranya ahli ibadah, dan yang satu lagi ahli maksiat. Mereka tinggal di sebuah flat . Sang ‘abid tinggal di lantai atas dan saudaranya yang suka bermaksiat tinggal di lantai bawah.

Suatu ketika, terbetik dalam hati sang ahli ibadah untuk mengikuti bisikan hawa nafsunya, ia berkata: “Sesungguhnya Allah Maha Pengampun. Kalau sekiranya aku turun ke rumah saudaraku, mungkin aku bisa sedikit bersenang-senang bersamanya. Dan aku bisa bertaubat setelah itu.” Lalu dia menuruni tangga menuju rumah saudaranya.

Sementara itu, sang ahli maksiat terbetik dalam hatinya, ia berkata: “Aku telah menghabiskan umurku dalam kemaksiatan. Dan saudaraku yang ahli ibadah akan masuk surga dan aku akan masuk neraka. Demi Allah, aku akan bertaubat. Aku akan naik menemui saudaraku di rumahnya. Mungkin aku bisa beribadah bersamanya dalam sisa umurku. Mudah-mudahan Allah mengampuni dosaku.” Lalu dia pun menuju tangga untuk naik ke rumah saudaranya.

Tiba-tiba sang ahli ibadah yang menuruni tangga terpeleset dan jatuh menimpa sang ahli maksiat yang sedang menaiki tangga. Kemudian keduanya meninggal seketika itu juga. (Semoga Allah selalu menetapkan hati kita dalam ketaatan)

Sumber : Kitab 300 Mauqif fii Az-Zuhd wa Ar-Roqoiq, Abdu Rahman Hal 68

[+/-] Selengkapnya...

Melaksanakan Arti dari Kalimat Syahadat

Dalam kehidupan ini, seseorang tidak bisa bebas hidup begitu saja, sesuka hati dengan menuruti keinginannya. Namun hidup ini memiliki aturan yang telah ditentukan oleh yang mengatur kehidupan, Ia adalah Allah SWT. Maka dalam menjalani hidup ini, seseorang tidak pernah lepas dari hubungannya dengan Allah, itulah hubungan ubudiyah atau pengabdian. Dengan sangat jelas Allah mengatakan dalam surat Adz-Dzariyat ayat 56: “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku”.

Hubungan ini didasari kepada tiga unsur penting, yaitu cinta, perniagaan dan amal. Dengan ketiga unsur di atas, setiap muslim menjalani hidupnya. Dengan syahadatain yang diyakininya, seseorang mesti mengamalkan syahadat di dalam kehidupan sehari-hari.


Unsur Pertama yang mesti dimiliki oleh seorang muslim dalam pengabdiannya kepada Allah adalah ia memiliki rasa cinta yang sangat tinggi kepada Allah. Kecintaan seorang muslim kepada Allah SWT harus berada di atas kecintaan kepada siapapun dan suatu apapun. Mendahulukan Allah di atas yang lainnya adalah sebuah perealisasian dari pemahaman terhadap syahadat yang benar. Ketika ada perintah dari-Nya, maka sebagai seorang muslim akan melaksanaakannya dengan penuh keridhoan. Begitu juga sebaliknya, ketika mendapati larangan Allah, dirinya segera menjauhinya dengan penuh ketundukan.


Al-Quran menggambarkan kecintaan seorang mukmin dalam firmannya: “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cinta kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (QS 2:165)


Ada unsur lain yang Allah tawarkan kepada orang mukmin dalam pengabdiannya kepada Allah, yaitu berupa perniagaan yang menjanjikan keuntungan yang tak ternilai bagi orang beriman. Karena pada hakikatnya semua manusia itu miskin dan faqir, tidak memiliki sesuatupun termasuk dirinya sendiri. Semua yang ada hanyalah milik Allah SWT. Tetapi dalam perjanjian ini Allah SWT menawarkan kepada mukmin untuk menjual dan mengorbankan apa-apa yang bukan menjadi miliknya itu kepada Allah SWT.


Penawaran Allah SWT untuk berjual beli kepada orang mukmin baik harta atau jiwanya dengan surga yang dimiliki Allah merupakan suatu keuntungan besar yang dapat membawa kebebasan dari neraka. Sebagaimana Allah menjelaskan hal tersebut di dalam Al-Quran: “Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya.” (QS 61:10-11)


Dalam firman yang lain Allah menggambarkan : “Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat.” (QS 2:265)


Dalam ayat tersebut disebutkan bahwa orang mukmin adalah sebagai penjual, yang dijualnya adalah harta yang dimilikinya, yaitu semua simbol yang melekat pada dirinya dan yang dianggap sebagai miliknya. Seperti harta, kekayaan, kedudukan, kerjanya, pengaruh dan sebagainya. Dan berupa jiwa yang meliputi nyawanya, tenaganya, waktu dan kesempatannya, perasaannya dan lain-lain.


Dalam hal ini Allah SWT sebagai pembeli tunggal yang akan memberikan dua keuntungan yang sangat besar bagi penjual tersebut, yaitu surga dan segala kenikmatannya sebagai pengganti harta yang diberikan Allah. “Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu dan itulah kemenangan yang besar”. (QS 9 : 111) Hanya orang beriman saja yang bersedia menjual harta dan jiwanya untuk berkorban dan berjuang di jalan Allah SWT.


Orang yang berimanlah yang rela menjual harta, nyawa dan tenaga untuk kepentingan tegaknya Islam di muka bumi ini. Walaupun demikian yang dituju dengan penjualan ini adalah keridhaan Allah SWT sebagai harta tertinggi.


Unsur ketiga dalam pengabdian kepada Allah adalah dengan senantiasa melakukan amal, memberikan apa yang dapat ia lakukan buat agama Allah dan kemuliaan islam. “Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS 9:105)


Dengan pelaksanaan cinta, perniagaan dan amal di atas, seorang mukmin menjalani hidupnya. Karena hidup adalah pengabdian. Maka setiap nilai hidupnya adalah ibadah. Ia senantiasa memohon ampunan dari dosa dan menghindarkan diri dari sebab-sebab kemaksiatan. Selalu mengabdikan diri kepada Allah SWT dalam keadaan lapang maupun sempit dengan pengabdian yang ikhlas. Mengagungkan Allah SWT dalam berbagai kesempatan. Senantiasa rukuk dan sujud kepada Allah. Selalu memelihara hukum Allah SWT, yaitu pelaksanaan kitabullah (Al-Quran) pada dirinya dan memperjuangkan ajarannya agar terlaksana di masyarakatnya. Wallahu ‘alam bisshowab.


[+/-] Selengkapnya...

Wasiat Kepada Sang Pendidik

Suatu hari imam Syafi’i masuk ke kamar Khalifah Harun Ar-Rasyid untuk minta izin kepadanya. Dan Shiraj ikut bersamanya. Lalu dia duduk di sisi Abu Abdus Shomad sang pendidik anak-anak Kholifah Harun Al-Rosyid. Shiraj pun berkata kepada Imam Syafi’i, “Wahai Abu Abdullah, mereka ini adalah anak-anak Amirul mukminin, dan ia Abu Abdus Shomad adalah pendidik mereka. Kalau sekiranya engkau berkenan memberikan nasehat kepada mereka.

Imam SyafiĆ­ lalu berkata kepada Abu Abdus Shomad :


“Hendaklah satu hal yang pertama dimulai dalam mendidik anak-anak Amirul Mukminin adalah memperbaiki dirimu. Maka mata-mata mereka bergantung pada matamu. Dan kebaikan mereka adalah kebaikan apa yang kau lakukan. Keburukan bagi mereka adalah sesuatu yang kau benci.

Ajarkanlah mereka kitabullah, janganlah engkau memaksakan mereka sehingga mereka bosan. Dan jangalah kau meninggalkan mereka dari Al-Quran lalu mereka akan meninggalkannya. Kemudian ceritakan kepada mereka dari hadits-hadits yang mulia dan pepatah nasehat. Dan janganlah kau keluarkan mereka dari suatu ilmu kepada ilmu yang lain sehingga mereka memahaminya. Maka sesungguhnya perkataan yang bertumpuk-tumpuk dalam pendengaran akan menyusahkan pemahaman”.

Sumber : Kitab Tsalatsu Miah Mauqif Fii Az-Zuhd wa r-Roqoiq, Abdul Rahman Bakr. Hal 70

[+/-] Selengkapnya...

Memperbaiki Hubungan Dengan Allah

Oleh Arju Ridhollah

” Barangsiapa memperbaiki hubungannya dengan Allah, maka Allah akan menyempurnakan hubungan-Nya dengan orang tersebut.”(HR. Hakim)

Rasulullah SAW dan para sahabat dahulu menganggap shalat sebagai terminal istirahat. Saat jiwa terasa letih oleh beban perjuangan dan saat tubuh penat oleh berbagai ujian hidup, generasi terbaik itu mendirikan shalat untuk melepas lelah. Rasulullah meminta Bilal untuk mengumandangkan azan dengan mengatakan, “Wahai Bilal tentramkanlah hati kami dengan shalat…” (HR. Daruquthni)

Shalat memang suplier ruhani dan pemompa mentaal. Tanpa shalat, jiwa manusia mungkin saja tak mampu menanggung beban dalam menjalani hidup. Bagi orang yang kerap mengalami penderitaan, shalatlah yang menjadi tempat menumpahkan segala permasalahan, menjadi kesempatan mengadu dan waktu mencurahkan harapan. Bagi seorang pejuang, seorang juru dakwah, shalat juga yang menjadikannya kuat memikul semua masalah dan tantangan yang menghadangnya.

Bersyukurlah kita, Allah SWT mewajibkan shalat lima waktu sehari. Dalam lima kesempatan itu artinya, kita memperoleh masukan energy baru. Semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang merasakan nikmatnya shalat.

Mungkin kita pernah mendengar Rasulullah bersabda, “Berapa banyak orang yang menegakkan shalat hanya memperoleh letih dan payah” ( HR Nasa’i ). Shalat yang digambarkan Rasul dalam hadits tersebut, bukan hanya shalat yang bias menjadi penyegar bagi jiwa. Shalat yang hanya bersifat ritual dan tidak memberikan kenikmatan bagi pelakunya. Shalat yang hanya gerakan fisik yang senyap dari kedamaian batin.

Salah satu syarat yang dapat memberi pencerahan batin,biasa disebut dengan khusyu’. Khusyu’ menurut Imam Ghazali adalah hudhurul qalbi kehadiran hati, konsentrasi, rasa tunduk, pasrah dan penghormatanyang tinggi kepada Allah SWT.

Amirul mukminin Umar ra mengatakan, “ Khusyu’ itu bukan menundukkan kepala, tapi khusyu’ itu ada di dalam hati.” Al Qur’an menyebutkan khusyu’ itu adalah tanda pertama orang-orang yang beruntung. “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu oran-orang yang khusyu’ dalam shalatnya.” (QS. Al Mukminun: 1-2)
Tidak sedikit orang yang sulit menghadirkan kekhusyukan dalam shalatnya. Kita begitu dan nyaris tidak percaya, bila sahabat Rasulullah Ali rejustru melaksanakan shalat untuk menghilangkan rasa sakit ketika mata panah akan dicabut dari tubuhnya.

Orang yang belum biasa bekerja berat, akan merasa sangat sulit bekerja mencangkul dan mengolah sawah. Tangannya mungkin akan lecet, kulitnya terbakar oleh terik matahari dan seluruh tubuhnya terasa linu, itu dalam konteks pekerjaan fisik. Keadaannya tidak jauh berbeda dengan konteks pekerjaan batin. Khusyu’ adalah pekerjaan batin, orang yang tidak terbiasa khusyu’, dekat, pasrah, tunduk pada Allah di luar shalat, akan sulit menghadirkan kekhusyukan di dalam shalat. Khusyu’ di dalam shalat sangat terkait dengan khusyu’ di luar shalat.
Kalau hati tidak pernah hidup, tidak ada link hubungan dengan Allah di luar shalat, tentu sulit menjalin hubungan yang baik hanya dalam shalat. Bagaimna kita merasakan nikmatnya bertani, mencangkul tanh, seperti yang dirasakan para petani, kalau kita sebelumnya jarang melakukan pekerjaan tersebut,? Begitu lebih kurang gambarannya, itulah rahasianya kenapa kita sulit khusyu’.

Khusyu’ kepada Allah tidak hanya dengan menyebut Subhanallah, Alhamdulillah atau Allahu Akbar. Khusyu’diwujudkan dengan hati yang senantiasa berhubungan denagn Allah, meskipun lidah tidak menyebut nama Allah.

Melihat ciptaan Allah, hati merasakan kebesaran Allah. Melihat peristiwa apapun semakin menyuburkan ingatan kepada Allah. Mendapat nikmat, hati mengatakan, “Syukur Allah tidak menjadikan aku menderita.” Hati tersentuh dan malubila melakukan ketidaktaatan. Bila ditimpa musibah, hati mengatakan, “Mungkin saya berdosa pada Allah.” Sikap0sikap seperti itulah yang semakin menambah kedekatan hatidengan Allah SWT. Itulah yang dimaksud dalam firman-Nya, “Mereka yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk dan berbarung.”
Itulah sebabnya para ahli ibadah mengatakan, aku merasa damai meskipun sendiri.” Kenapa? Karena mereka dalam kondisi terus berdzikir dengan melihat semua fenomena alam dan hatinya mengingat Allah Jalla Wa’ala.

Ibarat orang yang sayang dan rindu kepada kekasihnya, setiap barang kepunyaan kekasihterlihat di depan mata membuat hati ingat dan terkait dengan kekasih. Kalau sudah ada benih khusyu’ di luar shalat, maka saat berwudhu pun sudah khusyu’.

Seorang muslim harus berusaha menghidupakan kedekatan hatinya denagan Allah, kapan pun dan dimanapun. Tokoh ulama Mesir Hasan Al Banna menyifatkan karakter seorang mujahid adalah bukan orang yang tidur sepenuh kelopak matanya, dan tidak tertawa selebar mulutnya. Maksudnya itu menggambarkan suasana keseriusan dan kesungguhan orang yang berjuang di jalan Allah.

Apa rahasia di balik kesungguhan dan keseriusan itu? Dalam shalat mereka sangat membesarkan dan mengagungkan Allah. Di luar shalat mereka juga tetap membesarkan Allah, hidup sesuai syari’at, menjauhkan diri dari kemungkaran dan maksiat. Maka Allah akan menaungi mereka, sebab ada hubungan sangat erat antara shalat dan perilaku-perilaku sosial. Merekalah yang dimaksud dalam sabda Rasulullah, “Barangsiapa memperbaiki hubungannya dengan Allah, maka Allah akan menyempurnakan hubungan-Nya dengan orang tersebut.” ( HR. Hakim )


[+/-] Selengkapnya...

Sebaik-baik Perbekalan

Oleh: Ibnu Islam

Allah SWT dalam ayat ini mengabarkan kepada hamba-Nya bahwa perbekalan yang sebaik-baiknya adalah taqwa. Karena perbekalan taqwa adalah perbekalan yang kita bawa dalam kehidupan kita selanjutnya, yaitu akhirat.

Sebagaimana kita ketahui bahwa taqwa adalah mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Allah dan menjauhi apa-apa yang dilarangnya. Ketika Allah SWT berfirman watazawwadu fainna khaira zaadi taqwa. Firman Allah SWT ini memiliki makna tersirat bahwa manusia memiliki dua bentuk perjalanan, yakni perjalanan di dunia dan perjalanan dari dunia. Perjalanan di dunia memerlukan bekal, baik berbentuk makanan, minuman, harta, kendraaan dan sebagainya. Sementara perjalanan dari dunia juga memerlukan bekal.


Bekal itu mengenal Allah, mencintai Allah, berpaling dari selain Allah. Dan seluruh perbekalan itu terhimpun dalam kata taqwa. Perbekalan kedua yaitu perbekalan perjalanan dari dunia, lebih penting dari perbekalan dalam perjalanan pertama yakni perjalanan di dunia, karena beberapa hal.


Dalam Tafsir Ar-Raazi, disebutkan lima perbandingan antara keduanya:


1. Perbekalan dalam perjalanan di dunia,akan menyelamatkan kita dari penderitaan yang belum tentu terjadi. Tapi perbekalan untuk perjalanan dari dunia, akan menyelamatkan kita dari penderitaan yang pasti terjadi.


2. Perbekalan dalam perjalanan di dunia, setidaknya akan menyelamatkan kita dari kesulitan sementara,.tapi perbekalan untuk perjalanan dari dunia, akan menyelamatkan kita dari kesulitan yang tiada habisnya.


3. Perbekalan dalam perjalanan di dunia akan mengantarkan kita pada kenikmatan dan pada saat yang sama mungkin saja kita juga mengalami rasa sakit,keletihan dan kepayahan. Sementara perbekalan untuk perjalanan dari dunia, akan membuat kita terlepas dari marabahaya apapun dan terlindung dari kebinasaan yang sia-sia.


4. Perbekalan dalam perjalanan di dunia memiliki karakter bahwa kita akan melepaskan dan meninggalkan sesuatu dalam perjalanan. Sementara perbekalan untuk perjalanan dari dunia, memiliki karakter, kita akan lebih banyak menerima dan semakin lebih dekat dengan tujuan.


5. Perbekalan dalam perjalanan di dunia akan mengantarkan kita pada kepuasan syahwat dan hawa nafsu. Sementara perbekalan untuk perjalanan dari dunia akan semakin membawa kita pada kesucian dan kemuliaan karena itulah khairu zaadi taqwa. araazi 5/168

Oleh karena itu hendaklah seorang mukmin dan mukminah mempersiapkan perbekalan taqwa ini semoga Allah selalu membibing dan memberikan kekuatan kepada kita semua untuk mempersiapka bekal taqwa ini karena ia adalah sebaik-baik perbekalan.

Wallahu a’lam bisshowab.



[+/-] Selengkapnya...

Tawakkal Seorang Anak Kecil

Suatu hari, seorang kaya masuk masjid untuk shalat. Dan ia adalah termasuk orang-orang yang shaleh. Maka dia melihat seorang anak kecil yang umurnya tidak lebih dari 12 tahun berdiri shalat dengan khusyu'nya. Ia ruku' dan sujud dengan tenang dan tuma'ninah.

Dan ketika anak kecil tadi selesai melaksanakan shalatnya, orang kaya itu mendekatinya dan berkata: "Anak siapakah engkau?".


Anak kecil itu menjawab, "Aku yatim. Aku kehilangan ayah dan ibuku".


Orang itu berkata, "Apakah engkau mau menjadi anakku?".


Anak itu berkata, "Apakah engkau akan memberiku makan jika aku lapar?".


Orang itu menjawab, "Ya".


Anak itu berkata, "Dan engkau juga akan memberiku minum jika aku haus."


Orang itu menjawab, "Ya".


Dan anak kecil itu bertanya lagi, "Apakah engkau juga akan memberiku pakaian?".


Orang itu berkata, "Ya".


Anak kecil itu bertanya lagi, "Apakah engkau juga akan menghidupkan ku jika aku mati?"


Orang tadi menjawab, "Aku tidak mampu untuk itu."


Anak kecil itu berkata, "Maka tinggalkanlah aku kepada Ia Yang Menciptakan ku. Dia-lah yang memberiku makan dan minum. Dia-lah yang mematikanku dan menghidupkanku."


Lalu orang itu menjawab, "Ya, wahai anakku. Semoga Allah memberkahimu. Siapa yang bertawakkal kepada Allah, cukuplah Allah sebagai penolongnya."


Sumber : Kitab Tsalatsu miƔh Mawaqif fii Az-Zuhd wa Ar-Roqoiq, Abdul Rahman. Hal 42


[+/-] Selengkapnya...

Rasa Takut Abdullah bin Mubarak

Dari Qassim bin Muhammad, dia berkata: "Kami sering sekali bepergian dengan Ibnu Mubarak dan tiba-tiba terbetik di hatiku, maka aku berkata dalam hati dengan apakah orang ini (Ibnu Mubarak) dilebihkan di atas kami sehingga ia terkenal di tengah-tengah manusia. Jika dia shalat, maka kami shalat. Jika dia puasa, maka kami puasa. Jika dia berjihad, kami juga berjihad. Jika dia melaksanakan haji, kami juga berhaji.

Maka suatu malam di tengah perjalanan kami menuju kota Syam, kami makan malam di sebuah rumah. Ketika lampu dipadamkan,
maka sebagian kami berdiri lalu mengambil lampu itu dan keluar menunaikan hajatnya. Maka keadaan begitu sunyi. Tatkala lampu itu datang lagi, maka aku melihat ke wajah Ibnu Mubarak dan jenggotnya sudah basah oleh airmata. Maka aku mengatakan pada diriku, Ternyata dengan rasa takut inilah orang ini dilebihkan di atas kami. Se]ertinya ketika di tengah kegelapan tatkala lampu itu dibawa, keadaan menjadi begitu gelap sehingga dia mengingat kegelapan pada hari kiamat."

Sumber : Kitab Tsalatsu miah mawaqif wa ar-roqoiq, Abdul Rahman Bakr, hal 5

[+/-] Selengkapnya...

Sikap Tawakal Imam Syafi'i

Ketika Imam Syafi'i datang ke Mesir, seseorang bernama Abdullah bin Hakam berkata kepadanya: "Jika Imam mau tinggal di Mesir, hendaklah Anda memiliki bahan makanan yang cukup untuk setahun. Dan milikilah majlis di tempat Sulthan sehingga Anda dapat dimuliakan karena Sulthan tersebut".

Maka Imam Syafi'I berkata: "Wahai Abu Ahmad, barangsiapa yang tidak menjadikan taqwa sebagai kemuliaan, maka tidak ada kemuliaan baginya. Sungguh aku telah dilahirkan di Ghazzah Palestina, aku dididik di Hijjaz dan kami tidak memiliki bahan makanan untuk mencukupi satu malam saja, tetapi kami tidak pernah kelaparan."

Sumber : Samirus Sholihin wa Aniisul Mukminin, Musthofa Fargholi Muhammad El-Syuqoiri

[+/-] Selengkapnya...

Di antara Nasehat Luqmanul Hakim

Luqmanul Hakim berkata kepada anaknya:

Wahai buah hatiku, sungguh aku memberimu enam kalimat:

  1. Berbuatlah terhadap kehidupan duniamu sekedar untuk tempat tinggal.
  2. Dan berbuatlah untuk akhiratmu karena engkau kekal di dalamnya.
  3. Beramal lah dengan ikhlas hanya karena Allah SWT karena engkau membutuhkanNya.
  4. Jika engkau berbuat maksiat, pikirkanlah akibatnya.
  5. Jika engkau meminta, mintalah pada Yang Tidak Butuh Siapapun (Allah SWT).
  6. Dan jika memang engkau hendak bermaksiat, pilihlah tempat di mana Allah tidak melihatmu.
Sumber : Kitab Samirus Sholihin wa Aniisul Mukminin, Musthofa Fargholi M. El-Syuqoiri

[+/-] Selengkapnya...

Panggilan Azan di atas Ranjang Kematian

Amir bin Abdullah bin Zubair terbaring lemah di pembaringannya. Desah nafasnya hanya menunggu waktu ajal menjemput. Keluarganya berkumpul di sekitarnya sambil menangis menatap kondisinya yang kritis. Amir begitu lemah dan tubuhnya tidak bisa digerakkan.

Ketika itu terdengarlah suara azan magrib berkumandang, dia berkata pada orang-orang di sekitarnya: “Tuntunlah aku”. Amir bin Abdullah bin Zubair terbaring lemah di pembaringannya. Desah nafasnya hanya menunggu waktu ajal menjemput. Keluarganya berkumpul di sekitarnya sambil menangis menatap kondisinya yang kritis. Amir begitu lemah dan tubuhnya tidak bisa digerakkan.

Ketika itu terdengarlah suara azan maghrib berkumandang, dia berkata kepada orang-orang di sekitarnya : "Tuntunlah aku!"

Mereka bertanya: “Ke mana?”.

Amir berkata: “Ke masjid”.

Mereka berkata: “Dalam kondisimu seperti ini?”.

Amir pun menjawab: “Subhanallah, aku mendengar panggilan untuk shalat dan aku tidak menjawabnya? Bimbinglah tanganku dan boponglah aku”. Maka ia shalat satu rakaat bersama imam, kemudian menghembuskan nafas terakhir dalam sujudnya..

Sumber : Kitab 300 Mauqif fii Az-Zuhd wa Ar-Roqoiq, Abdul Rahman Bakr, Hal 10


[+/-] Selengkapnya...

Kandungan Makna Syahadatain

Syahadatain begitu berat diperjuangkan oleh para sahabat dan Nabi SAW, bahkan mereka siap dan tidak takut terhadap segala ancaman orang kafir. Sahabat Nabi misalnya Hubaib berani menghadapi siksaan dengan dipotong tubuhnya satu persatu oleh Musailamah. Bilal bin Rabah tahan menerima himpitan batu besar di dadanya pada siang hari yang panas di padang pasir, dan sederetan nama sahabat lainnya yang menerima siksaan. Mereka mempertahankan syahadatain. Muncul pertanyaan kenapa mereka bersedia dan berani mempertahankan kalimat syahadat? Ini disebabkan karena kalimat syahadat mengandung makna yang mendalam bagi mereka. Syahadat bagi mereka dipahami dengan arti yang sebenarnya yang melingkupi pengertian ikrar, sumpah dan janji.

Mayoritas umat Islam mengartikan syahadat sebagai ikrar saja, apabila mereka tahu bahwa syahadat juga mengandung arti sumpah dan janji, serta tahu bahwa akibat sumpah dan janji maka mereka akan benar-benar mengamalkan Islam dan beriman. Iman sebagai dasar dan juga hasil dari pengertian syahadat yang benar. Iman merupakan pernyataan yang keluar dari mulut, juga diyakini dengan hati dan diamalkan oleh perbuatan. Apabila kita mengamalkan syahadat dan mendasarinya dengan iman dan konsisten dan istiqamah, maka beberapa hasil akan dirasakan, seperti keberanian, ketenangan, dan optimis dalam menjalani kehidupan. Kemudian Allah SWT memberikan kebahagiaan kepada mereka di dunia dan di akhirat. Berikut akan kami uraikan :


Kandungan Syahadat atau Madlul Asy-Syahadah mengandung tiga pengertian, yaitu :


1. Al-Iqraar (Pernyataan)


Iqraar yaitu suatu pernyataan seorang muslim mengenai apa yang diyakininya. Pernyataan ini sangat kuat karena didukung oleh Allah SWT, malaikat dan orang-orang yang berilmu, para nabi dan orang yang beriman. Hasil dari ikrar ini adalah kewajiban kita untuk menegakkan dan memperjuangkan apa yang diikrarkan Allah berfirman : "Allah SWT menyatakan bahwa tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu juga menyatakan demikian. Tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Perkasa Maha. Juga merupakan ikrar para Nabi yang mengakui kerasulan Muhammad SAW meskipun mereka hidup sebelum kedatangan Rasulullah SAW. Allah berfirman Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para Nabi: "Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang Rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya". Allah berfirman: "Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian Ku terhadap yang demikian itu?" Mereka menjawab: "Kami mengakui". Allah berfirman: " Kalau begitu saksikanlah (hai para Nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu". (QS 3:81).


2. Al-Qasam (Sumpah)


Sumpah yaitu pernyataan kesediaan menerima akibat dan resiko apapun dalam mengamalkan syahadat. Muslim yang menyebut asyhadu berarti siap dan bertanggungjawab dalam tegaknya Islam dan penegakan ajaran Islam. Pelanggaran terhadap sumpah ini adalah kemunafikan. Syahadat berarti sumpah. Orang-orang munafik berlebihan dalam pernyataan syahadat-nya padahal mereka tidak lebih sebagai pendusta. Sebagaimana firman Allah : "Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: "Kami mengakui bahwa sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar Rasul Allah". Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar pendusta. Mereka itu menjadikan sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan." (QS 63:1-2).


3. Al-Miitsaaq (Perjanjian yang Teguh)


Mitsaaq yaitu janji setia untuk mendengar dan taat dalam segala keadaan terhadap semua perintah Allah SWT yang terkandung di dalam Al-Qur'an maupun Sunnah Rasul. Syahadat adalah mitsaq yang harus diterima dengan sikap sam'an wa tho'atan (dengar dan taat) didasari oleh iman yang sebenarnya terhadap Allah SWT, malaikat, kitab-kitab, Rasul-rasul, hari akhir, dan Qadar baik maupun buruk. Pelanggaran terhadap miitsaaq ini berakibat laknat Allah SWT seperti yang pernah terjadi pada orang-orang Yahudi. Allah berfirman : "Dan ingatlah karunia Allah kepadamu dan perjanjian-Nya yang telah diikat-Nya dengan kamu, ketika kamu mengatakan "Kami dengar dan kami taati". Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui isi hati(mu)". (QS 5:7.)


Dari ketiga kandungan inilah akan melahir nilai keimanan yang benar. Iman adalah keyakinan tanpa keraguan, penerimaan menyeluruh tanpa rasa keberatan, kepercayaan tanpa pilihan lain terhadap semua keputusan Allah SWT. Iman adalah sikap hidup yang merupakan cermin identitas Islam. Iman sebagai dasar bagi seluruh kegiatan dan tingkah laku manusia agar mendapat ridha dari Allah SWT. Iman bukanlah hanya angan-angan, tetapi sesuatu yang tertanamkan di dalam hati dan harus diamalkan dalam bentuk amal produktif. Amal yang dikerjakan harus merupakan amal shalih yang dilakukan dengan ihsan dan penyerahan yang sempurna kepada kehendak Allah SWT. Dalam melakukan amal tersebut, seorang mukmin merasa dilindungi Allah SWT. Allah berfirman: "Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal shaleh, baik ia laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun. Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya. (QS 4:125.)


Di antara kekeliruan umat Islam adalah mencontoh sikap Yahudi. Misalnya merasa bahwa neraka merupakan siksaan yang sebentar sehingga tidak risau masuk neraka. Atau mereka akan masuk surga semata-mata karena imannya sehingga tidak perlu beramal shaleh lagi. Allah berfirman : "Dan mereka berkata: "Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja". Katakanlah: "Sudahkah kamu menerima janji dari Allah sehingga Allah tidak akan memungkiri janjiNya, ataukah kamu hanya mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?". (QS 2:80.)


Syahadat yang dinyatakan seorang muslim dengan penuh kesadaran sebagai sumpah dan janji setia ini merupakan ruh iman, yaitu ucapan (al-qoul), membenarkan (at-tashdiq) dan perbuatan (al-'amal).


1. Al-Qaul (Ucapan)


Ucapan yang senantiasa sesuai dengan isi hatinya yang suci. Perkataan maupun kalimat yang keluar dari lisannya yang baik serta mengandung hikmah. Syahadat diucapkan dengan penuh kebanggaan dan ketinggian iman (isti'la-ul iman) berangkat dari semangat isyhadu biannaa muslimuun (saya bersaksi bahwa saya adalah muslim). Ucapan lisan tanpa membenarkan dalam hati adalah sikap nifaq I'tiqadi, yaitu berbicara dengan mulutnya sesuatu yang tidak ada dalam hatinya. Firman Allah: "Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian". Padahal mereka itu sesungguhnya bukanlah orang-orang yang beriman. (QS 2:8)


2. At-Tashdiiq (Membenarkan)


Membenarkan dengan hati tanpa keraguan. Yaitu sikap keyakinan dan penerimaan dengan tanpa rasa keberatan atau pilihan lain terhadap apa yang didatangkan Allah SWT. "Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan RasulNya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar. (QS 49:15)


3. Amal (Perbuatan)


Perbuatan yang termotivasi dari hati yang ikhlas dan pemahaman terhadap maksud-maksud aturan Allah SWT. Amal merupakan cerminan dari kesucian hati dan upaya untuk mencari ridha Ilahi. Amal yang menunjukkan sikap mental dan moral Islami yang dapat dijadikan teladan.


Ketiga perkara di atas (ucapan, pembenaran dalam hati dan perbuatan) tidak terpisahkan sama sekali. Seorang muslim yang tidak membenarkan ajaran Allah SWT dalam hatinya bahkan membencinya, meskipun kelihatan mengamalkan sebagian ajaran Islam adalah munafiq i'tiqadi yang terlaknat. Muslim yang meyakini kebenaran ajaran Islam dan menyatakan syahadatnya dengan lisan tapi tidak mengamalkan dalam kehidupan adalah munafiq 'amali. Sifat nifaq dapat terjadi sementara terhadap orang muslim oleh karena berdusta, menyalahi janji atau berkhianat.


Imam Hasan Basri berkata: "Iman bukanlah angan-angan, bukan pula sekedar hiasan. Tetapi iman adalah keyakinan yang hidup di dalam hati dan dibuktikan dalam amal perbuatan.


Keimanan seorang muslim yang mencakupi tiga unsur di atas harus senantiasa dipelihara dan dijaga dengan sikap istiqamah. Istiqamah artinya tidak menyimpang atau cenderung pada kekufuran. Istiqamah berarti konsisten dalam menegakkan agama Allah dan tidak ragu dalam mengamalkan nilai Islam yang dianutnya. Tetap teguh, tahan dan kuat dalam menghadapi dan melaksanakan perintah Allah SWT, serta mampu menghadapi segala cobaan. Istiqamah juga berarti terus berjuang menyampaikan ajaran Allah SWT dengan tidak mengikuti hawa nafsu.

Allah berfirman: "Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah bertaubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan. (QS 11:112-113.)

Maka dari sikap istiqomah itu akan menghasilkan beberapa hal, berupa sikap syaja'ah, ithmi'nan dan tafa'ul.


1. Asy-Syajaa'ah (Keberanian)


Keberanian muncul karena keyakinan sebagai hamba Allah SWT yang selalu dibela dan didukung oleh Allah SWT. Tidak takut menghadapi tantangan hidup, siap berjuang untuk tegaknya yang haq (kebenaran). Keberanian juga bersumber kepada keyakinan terhadap Qadha' dan Qadar Allah SWT yang pasti. Tidak takut pada kematian karena kematian di jalan Allah SWT merupakan anugerah yang selalu dirindukannya.


Orang yang beristiqamah didukung malaikat yang akan menjadikannya berani, tenang dan optimis Sumber keyakinan tentang Qadha dan Qadar yang menimbulkan keberanian, kecelakaan atau kemudharatan hanyalah ketentuan Allah SWT belaka.


Allah berfirman: "Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka (istiqamah), maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): "Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih. Dan gembirakanlah mereka dengan (memperoleh) surga yagn telah dijanjikan Allah kepadamu". QS 41:30


2. Al-Ithmi'naan (Ketenangan)


Ketenangan berasal dari keyakinan terhadap perlindungan Allah SWT yang memelihara orang-orang mukmin secara lahir dan batin. Dengan senantiasa ingat pada Allah SWT dan selalu berpanduan kepada petunjukNya, maka ketenangan akan selalu hidup dalam hatinya.


Ketenangan yang diperoleh karena tawakkal terhadap janji perlindungan Allah yang pasti sehingga timbul pula keberanian menghadapi musuh. QS 47:7. Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. Ibnu Taimiyah berkata: "Apa yang dilakukan musuh-musuhku terhadapku? Sesungguhnya kematianku adalah syahid. Penjaraku adalah rasa manis, sedangkan pengusiran bagiku adalah bertamasya".


3. At-Tafaaul (Optimis)


Optimis meyakini bahwa masa depan adalah milik orang-orang yang beriman. Kemenangan umat Islam dan kehancuran kaum kuffar sudah pasti. Mukmin menyadari bahwa amal perbuatan yang dilakukannya tidak akan sia-sia, melainkan pasti dibalas oleh Allah SWT dengan pembalasan yang sempurna. Optimis bahwa dengan pertolongan Allah SWT tak akan ada yang dapat mengalahkan. Seperti contoh optimisme para sahabat Rasul di perang Ahzab. Allah berfirman :. "Jika Allah menolong kamu, maka tak ada orang yang dapat mengalahkan kamu. Jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal" (QS 3:160)


Ketiga hasil istiqamah tadi akan membuat kebahagiaan bagi orang yang memilikinya. Jadi hanya syahadat sejati yang dapat menimbulkan sa'adah (kebahagiaan). Hanya Islam dengan konsep syahadat yang dapat memberikan kebahagiaan pada manusia di dunia maupun di akhirat.


Al-Quran menyebutkan bahwa orang-orang beriman akan mendapatkan kebahagiaan atau hasanah di dunia maupun di akhirat. Allah berfirman: "Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan kematian. Dan sesungguhnya pada harikiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sesungguhnya ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan". QS 3:185.

[+/-] Selengkapnya...

Kelembutan Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra.

Datang seseorang dari Negeri Syam ke kota Madinah. Maka dia melihat seorang dengan berpenampilan menarik, pakaiannya bersih dan mengendarai kuda dengan gagahnya. Lalu dia bertanya tentang orang itu.

Maka dijawablah, “Orang itu adalah Hasan bin Ali”. Maka timbullah kedengkian dalam hatinya. Lalu dia datang menemui Hasan sambil berkata, “Apakah engkau anak Ali bin Abi Thalib?”. Hasan menjawab, “Ya. Aku anaknya”. Maka orang itu berkata, “Sungguh aku telah mengatakan terhadap dirimu dan bapakmu perkataan yang keji dengan mencela kalian berdua”.

Lalu Hasan berkata, “Sepertinya engkau orang asing yang baru tiba di sini”. Orang itu menjawab, “Ya”. Hasan berkata, “Apabila engkau membutuhkan rumah, aku akan memberimu tempat tinggal. Apabila engkau membutuhkan harta dan keperluan, aku akan membantumu”. Maka orang itu merasa heran dengan kelembutan Hasan. Lalu dia pergi sambil mengatakan, “Tidak ada di muka bumi ini sesuatu yang lebih aku sukai dari pada pemuda ini. Aku berbuat buruk padanya dan ia berbuat baik padaku”.

Sumber : Tsalatsu Miah Mauqif fii Az-Zuhd wa Ar-Roqoiq, Abdul Rahman Bakr, hal 13

[+/-] Selengkapnya...

Muslim Sejati

Tadabur Surah Ash-Shaff

Oleh: Arju Ridhallah

"Bertasbih kepada Allah apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi, dan Dia-lah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Hai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan apa yang kamu tidak perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (Ash-Shaff:1-3)



Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya meriwayatkan hadits dari Sahabat Abdullah bin Salam bahwa suat ketika mereka para sahabat saling berkumpul untuk membicarakan amal apa yang disukai Allah SWT. Maka Allah menurunkan surah Ash-Shaff yang dijelaskan di sana bahwa amal yang disukai oleh Allah SWT adalah berjihad di jalanNya dalam barisan yang teratur seperti dijelaskan dalam ayat ke empat.


Surah ke-61 dan berjumlah 14 ayat ini berbicara bagaimana menjadi seorang muslim yang baik dalam kehidupan sehari-hari baik dalam dimensi individu (pribadi) ataupun dalam dimensi sosial masyarakat.


Karena Islam adalah agama spiritual bagi individu (pribadi) dan sosial dalam satu bundel yang tak terpisahkan, semua perintah dalam Islam, baik itu bernuansa individu maupun sosial dibingkai dalam semangat spiritual yang sama yaitu pengabdian kepada Allah SWT semata (ibadah), sehingga hasil duniawi yang pasti adalah terciptanya maslahat bagi manusia secara individu maupun sosial.


Setiap muslim, pertama-tama ia harus menikmati hubungan spiritual yang bersifat individu dengan Allah SWT sebagai kebutuhan dasar, lebih mendasar ketimbang makan dan minum yang menghasilkan lahirnya kepuasa dan ketenangan hati setelah mengadu kepada Allah SWT.

Oleh sebab itu, Allah SWT dalam ayat pertama menyebutkan bahwa semua yang ada di langit dan di bumi bertasbih dan selalu berzikir kepadaNya. Apalagi sebagai seorang muslim yang ingin mendapat kebahagiaan di dunia maupun di akhirat maka hubungan ini harus diperkuat baik itu melalui shalat, zikir, doa, membaca Quran, puasa dan lain-lain.

Di ayat ke dua, Allah SWT menjelaskan bagaimana menjadi seorang muslim yang sejati baik secara pribadi maupun sosial. Sebagaimana firmanNya, "Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.

Seorang ulama Mesir Sayyid Quthb dalam kitabnya Fi Zhilal Al-Quran mengatakan, "Dalam pengarahannya, ayat ini memberikan arahan yang jelas tentang akhlak seorang muslim dan tabiat hati nuraninya. Bahwa seorang muslim itu tidak akan berkata tentang apa yang tidak dia perbuat. Perbuatan dan perkataannya tidak akan berbeda baik secara lahir maupun batin, yang tersembunyi maupun yang terang-terangan, dan sama dalam semua keadaan, semata-mata ikhlas karena Allah SWT. Dan dalam dakwahnya, seorang muslim jelas antara perkataan dan perbuatan, kokoh di jalanNya, dan saling menolong sesama saudaranya seperti sebuah bangunan yang kokoh.

Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW menjelaskan bahwa tanda-tanda orang munafik itu ada tiga: Jika berbicara dia berdusta, jika berjanji ia ingkar, dan jika diberi amanah dia berkhianat.

Karena itu, seorang muslim yang shaleh secara pribadi di waktu yang sama ia juga seorang muslim sosial yang beribadah semata-mata mencari ridha Allah SWT. Dengan kata lain, tujuan dasarnya tetap pengabdian kepada Allah SWT dan selanjutnya adalah lahirnya solusi dari berbagai problematika sosial yang berkaitan, seperti berkurangnya orang-orang munafik yang perkataan dan perbuatannya berbeda di lingkungan masyarakat.

Dan lebih dari itu, pahala menjadi seorang muslim sejati disebutkan oleh Allah dalam ayat ke 12. Allah SWT berfirman, "Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam syurga 'and. Itulah keberuntungan yang besar."

Wallahu a'lam..

[+/-] Selengkapnya...

Luasnya Rahmat-Mu

Oleh : amzie_2720

Dari Ibnu Abbas RA, Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menetapkan kebaikan dan keburukan kemudian Ia menjelaskannya. Dan barangsiapa yang berniat untuk mengerjakan suatu amalan kebaikan, lalu ia tidak mengerjakannya, maka ia mendapatkan pahala yang sempurn, namun jika ia mengerjakannya maka ia mendapatkan sepuluh pahala, tujuh ratus pahala sampai berlipat ganda. Dan barangsiapa yang berniat untuk mengerjakan sebuah keburukan atau dosa, tapi ia meninggalkannya (semata-mata karena Allah SWT) maka baginya satu pahal. Dan barangsiapa yang berazam akan suatu dosa dan kemudian ia melakukannya, maka baginya hanya satu dosa” (H.R Bukhari dan Muslim)


Sungguh merupakan suatu kelebihan dan kasih sayang yang Allah berikan kepada makhlukNya, di antaranya yaitu orang yang berniat melakukan kebaikan sekalipun belum di laksanakannnya, maka ia mendapat satu pahala, sedangkan orang yang berbuat suatu dosa, kemudian tidak mengerjakannya, maka ia mendapatkan satu pahala, dengan syarat ia meninggalkannya semata-mata karena takut kepada Allah SWT, namun jika ia mengejakannya , maka ia hanya mendapatkan satu dosa.


Orang yang berniat baik kemudian mengerjakannya, maka Allah tetapkan baginya sepuluh kali lipat pahala, ini adalah suatu keutamaan yang amat besar, bahkan Allah melipatgandakan pahala kebaikan, namun tidak melipatgandakan siksa atas perbuatan dosa tersebut.Allah tetapkan keinginan berbuat baik sebagai suatu kemuliaan, karena keinginan itu merupakan perbuatan hati yang sesungguhnya (Begitu luas rahmat-Mu ya Rabb.!)


Sesungguhnya Allah SWt telah berfirman: “Barang siapa yang berbuat baik maka Allah tetapkan baginya sepuluh kali pahala” adapun kelipatan ganda sebuah pahala berdasarkan keikhlasan seorang mukmin dan keutamaan amalan yang ia perbuat: “Sesungguhnya Allah melipatgandakan pahala siapa saja yang Ia kehendaki dari seorang mukmin.” Karena bisa jadi seorang muslim baribadah ikhlas semata-mata karena Allah SWT, dan bisa jadi pula ia menunaikannya hanya untuk menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim, atau mungkin bias jadi ia menunaikannya karena hanya ingin di lihat oleh orang lain (riya`) atau hal lain yang berifat duniawi, naudzubillah..


Maka dari itu seyogyanya kita sebagai seorang mukmin untuk senantiasa menghadirkan kalbu kita di setiap ibadah yang kita kerjakan dan tentunya tidak terlepas dari aturan Allah dan RasulNya dalam Al-Qur‘an dan Assunnah, sehingga terwujud dalam diri qta cahaya keikhlasan.


Dalam hadits di sebutkan: “..dan barangsiapa yang berniat untuk mengerjakan suatu amalan kebaikan, lalu ia tidak mengerjakannya, maka ia mendapatkan pahala yang sempurna, namun jika ia mengerjakannya maka ia mendapatkan sepuluh pahala, tujuh ratus pahala sampai berlipat ganda”. Kemudian gimana sih jika seseorang itu termasuk dalam kategori “orang yang mendapat pahala hanya dengan berniat tanpa sebuah amalan?”


1.Orang yang berniat dan berazam melaksanakan suatu kebaikan tapi ia tidak mampu melakukannya. Seperti seorang kakek berusia tua renta yang ingin shalat berdiri seperti jamaah lainnya, namun karena kelemahan fisiknya yang menghalanginya utk melaksanakannya… maka sesungguhnya ia telah di catat oleh Allah untuk mendapatkan pahala shalat seperti jemaah lainnya yang shalat berdiri.


2. Seorang muslim yang telah berazam untuk mengerjakan suatu amalan, dan kemudian ia meninggalkan amalan tersebut karena amalan lainnya yang lebih baik.


3. Adapun jika ia telah berazam dan bersungguh-sungguh untuk mengerjakan suatu kebaikan, dan kemudian ia meninggalkannya karena merasa malas dan lain sebagainya. Maka ia telah baginya pahala, sebagaimana dua kondisi di atas tersebut..


Lalu, apa sabda Rasul berikutnya? “..dan barangsiapa yang berniat untuk mengerjakan sebuah keburukan atau dosa, tapi ia meninggalkannya (semata-mata karena Allah SWT) maka baginya satu pahala…dan barangsiapa yang berazam akan suatu dosa dan kemudian ia melakukannya,, maka baginya hanya satu dosa..”


Naah.. tuh kan!! Allah sayang banget sama kita. Tapi terkadang kita sendiri yang masih belum sayang sama Allah. Tapi, seperti apa sih jika seorang muslim termasuk dalam kategori seperti yang di atas ini?


1. Jika seorang muslim telah berniat dan berazam melakukan sebuah dosa, lalu suatu saat ia sadar akan niat jeleknya itu, dan kemudian ia pun meninggalkannya semata-mata karena Allah SWT atau karena takut akan siksaanNya. Maka Allah telah menggantikan niat baiknya untuk meninggalkan perbuatan tersebut dengan satu pahala.


2. Namun jika ia berniat melakukannya atau hanya berangan-angan akan suatu keburukan atau dosa yang ingin ia kerjakan, maka cukup di catat oleh Allah satu dosa karena niat buruknya itu tanpa di catat dosa amalannya. Kenapa? Karena menghayal akan suatu hal, itu mustahil ia lakukan, dalam artian jika ia mampu, maka ia telah melakukan niat buruknya itu.


3. Adapun seorang muslim yang telah berazam akan suatu keburukan yang ia ingin perbuat, tapi karena berbagai factor yang menyebabkannya gagal untuk berbuat..
mm..kaya apa sih?

Rasulullah SAW bersabda : “jika ada dua orang muslim yang saling membunuh, maka bagi yang membunuh dan yang di bunuh adalah neraka, kemudian sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah kenapa bagi yang di bunuh mendapatkan neraka?” Rasul bersabda: “karena ia telah berazam untuk membunuh temannya itu” Tuuh kan! Makanya, hati-hati ya!! Pikirkan dulu sebelum berbuat. Apakah yang akan kita perbuat nanti itu baik apa engga?


Oleh karena itu, bila kelak Allah mengadili hamba-hambaNya di hari kiamat. Kebaikan mereka bertingkat-tingkat nilai ketinggiannya, dan ada pula yang kurang nilainya, maka dengan kemurahan dan rahmat Allah SWT, ia akan memperhitungkan semua amal kebaikannya dengan harga yang tinggi, karena kemurahan Allah jauh lebih besar dari pada perbedaan nilai antara dua kebaikan, Allah berfirman: “Sungguh pasti Kami memberi pahala kepada mereka dengan yang lebih baik dari apa yang telah mereka lakukan “ (Annahl : 97)

[+/-] Selengkapnya...

Urgensi Dua Kalimat Syahadat

Pentingnya syahadat dalam kehidupan seorang muslim karena syahadat sebagai dasar bagi rukun Islam, ia menjadi ruh, inti landasan seluruh ajaran Islam. Berikut ini kami akan sedikit mengulas beberapa sebab mengapa syahadat begitu penting bagi kehidupan seorang muslim.

1. Pintu Masuk ke Dalam Islam

Diterimanya iman dan amal seseorang adalah dengan pernyataan syahadatain. Tanpa mengucapkan kalimat syahadat maka amal yang dikerjakan bagaikan abu atau fatamorgana yang terlihat tapi tidak ada. Karena ia adalah pembeda antara keimanan dan kekufuran. Allah berfirman dalam. “Dan Kami menghadap kepada apa yang mereka telah kerjakan dari amal (baik), lalu Kami jadikan dia debu yang berterbangan.” (QS 25:23)


Kesempurnaan iman seseorang bergantung kepada pemahaman dan pengamalan syahadat. Pada dasarnya setiap manusia telah mengakui Allah sebagai Tuhan mereka ketika di dalam rahim, Allah berfirman:


“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”. (QS 7:172).


Pengakuan atas keesaan Allah SWT ini perlu disempurnakan di dunia dengan mengucapkan, memahami dan melaksanakan syahadatain sesuai dengan ajaran Islam.


2. Intisari Ajaran Islam


Pemahaman muslim terhadap Islam bergantung kepada pemahaman pada syahadatain. Ketika seorang memahami makna syahadat dengan benar dan mengetahui tuntutan syahadat itu, sesungguhnya ia telah memahami intisari ajaran islam. Karena di dalam dua kalimat sederhana ini mengandung tiga hal penting.

Pertama: Pernyataan Laa Ilaaha illa Allah merupakan penerimaan penghambaan kepada Allah SWT saja. Wujud penyerahan diri seorang hamba hanya kepada Allah saja yang menciptakan manusia. Allah berfirman : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu”. (QS 51:56)

Kedua: Pernyataan Muhammad Rasulullah merupakaan pengakuan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, teladan dan panutan dalam mengikuti aturan Allah. Sebagaimana firman Allah: “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah..” QS 33:21.


Ketiga: Penghambaan kepada Allah SWT meliputi seluruh aspek kehidupan. Ia mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT, dengan dirinya sendiri dan dengan masyarakatnya. Seluruh aktifitas hidup manusia secara individu, masyarakat dan negara mesti ditujukan mengabdi kepada Allah SWT saja. Allah berfirman:


“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” QS 6:153


3. Dasar Perubahan


Syahadatain mampu merubah manusia dalam aspek keyakinan, pemikiran, maupun jalan hidupnya. Perubahan meliputi berbagai aspek kehidupan manusia secara individu maupun masyarakat. Ada perbedaan penerimaan syahadat pada generasi pertama umat muhammad dengan generasi sekarang. Perbedaan tersebut disebabkan pemahaman terhadap makna syahadatain secara bahasa dan pemaknaan, serta sikap konsisten terhadap syahadat tersebut dalam pelaksanaan ketika menerima maupun menolak.


Umat terdahulu langsung berubah ketika menerima syahadatain. Sehingga mereka yang tadinya bodoh menjadi pandai, yang kufur menjadi beriman, yang bergelimang dalam maksiat menjadi takwa dan ahli ibadah, yang sesat mendapat hidayah. Masyarakat yang tadinya bermusuhan menjadi bersaudara di jalan AllahSWT.


Perubahan individu contohnya terjadi pada Mush’ab bin Umair yang sebelum mengikuti dakwah Rasul merupakan pemuda yang paling terkenal dengan kehidupan glamour di kota Mekkah. Tetapi setelah menerima Islam, ia menjadi pemuda yang sederhana, sebagai dai Rasul untuk kota Madinah. Yang kemudian syahid pada peperangan Uhud.


Beberapa reaksi masyarakat Quraisy terhadap kalimat tauhid sangat beragam. Mereka yang menggunakan akalnya akan dapat mudah menerima kalimat tauhid tetapi sebaliknya mereka yang menggunakan hawa nafsu serta adanya berbagai kepentingan akan menyulitkan mereka memahami kalimat tauhid. Allah berfirman : “Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: “Laa ilaaha illa Allaah (Tiada Tuhan melainkan Allah) mereka menyombongkan diri dan mereka berkata: “Apakah sesungguhnya kami gila?” Sebenarnya dia (Muhammad) telah datang membawa kebenaran dan membenarkan Rasul-rasul sebelumnya.” (QS 37:35-37)


4. Hakikat Dakwah para Rasul


Setiap Rasul semenjak Nabi Adam AS hingga nabi besar Muhammad SAW membawa misi dakwah yang sama yaitu Tauhid. Dakwah Rasul senantiasa membawa umat kepada pengabdian terhadap Allah SWT saja. Allah berfirman: “Katakanlah! Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa.” Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS 18:110)


5. Memiliki Keutamaan yang Besar


Banyak ganjaran dan pahala yang diberikan oleh Allah SWT dan dijanjikan oleh Nabi Muhammad SAW. Keutamaan ini selalu dikaitkan dengan aplikasi dan implikasi syahadat dalam kehidupan sehari-hari. Keutamaan yang paling besar Adalah surga Allah. Rosulullah mengatakan : “Dua perkara yang pasti”. Maka seorang sahabat bertanya, Apakah perkara itu wahai Rasulullah? Rasulullah menjawab: “Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu, ia akan masuk surga (HR Ahmad).

[+/-] Selengkapnya...

Zuhudnya Salim Bin Abdullah

Sufyan bin Uyainah berkata : "Kholifah Hisyam bin Abdul Malik memasuki ka'bah. Maka tatkalah itu ia bertemu dengan Salim bin Abdullah Lalu Hisyam berkata kepadanya : "Mintalah kepadaku hajatmu".

Salim menjawab : "Sungguh aku malu meminta pada Allah untuk meminta sesuatu di rumahNya kepada selain diriNya."

Maka tatkalah Hisyam bin Abdul Malik keluar dari Masjidil Haram ia berjumpa lagi dengan Salim bin Abdullah, kemudian Hisyam kembali berkata kepadanya: "Sekarang engkau telah keluar dari rumah Allah, maka mintalah kepadaku hajatmu".

Salim berkata; "Dari hajat dunia atau hajat akhirat?"

Hisyam menjawab: "Tentu dari hajat dunia".

Maka Salim berkata kepadanya: "Aku tidak memintanya kepada Yang memilikinya, maka bagaimana mungkin aku memintanya kepada yang tidak memilikinya".

Sumber : Majalah Al-Mujtama' Edisi 23-29 Shofr H. / 1-7 maret 2008 M. Halaman : 65

[+/-] Selengkapnya...

Perkataan Hikmah Umar bin Khattab ra

"Janganlah kalian menyikbukkan diri kalian dengan banyak menyebut manusia, karena itu adalah bencana. Sibukkanlah kalian dengan menyebut Allah (dzikir padaNya) karena itu adalah rahmat. (Kitab Jami'ul Ulum Wal Hikam, hal. 539)

"Janganlah kalian melihat pada puasa dan sholat seseorang, tapi lihatlah kepada kejujuran perkataannya apabila berbicara, keamanahannya apabila beri amanah, kesederhanaannya (wara') apabila mendapat keluasan dunia. (Kitab Al-Zuhud Al-kabir Imam Al-Baihaqi, hal. 321)

"Sholat shubuh berjamaah lebih aku sukai dari pada aku sholat malam." (Kitab Makarimul Akhlak, oleh Imam Ibnu Abi Dunya, hal: 214)

Tiga hal yan membinasakan kekikiran yang diperturutkan, hawa nafsu yang yang diikuti, merasa takjub dengan diri sendiri. (Kitab Al-Aqdu Al-Farid, 3/ 49)

Sumber : Kitab Faroidul Kalam lil Khulafa Al-Kirom, Qosim Asyur

[+/-] Selengkapnya...

Sifat dan Akhlaq Rasulullah SAW


Sebagai ummat Nabi Muhammad SAW, maka sepantasnya kita menjadikan Rasulullah SAW sebagai teladan dalam membangun akhlaq yang mulia. Karena dengan akhlaq mulia akan mengantarkan kehidupan kita kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat. Contoh teladan akhlaq mulia Rasulullah SAW yang tertuang dalam Al-Quran di antaranya:


1. Jujur dan benar. Kejujuran dan kebenaran Rasulullah Saw terhadap risalah yang beliau bawa yaitu wahyu Allah SWT tidak perlu kita ragukan lagi. Begitu pula ketika beliau bersikap dan berbicara, tidak pernah berbohong kepada siapapun. Sifat bohong itu mustahil bagi Rasulullah SAW. Oleh karena itu, sahabat Abdullah bin Mas'ud ra. menyebut beliau dengan gelar "Ash-Shadiqul Mashduq" yaitu "yang benar dan selalu dibenarkan". Bahkan sejarah mencatat bahwa musuh-musuh beliau pun mengakui keagungan dan kemuliaannya disebabkan beliau senantiasa bersikap jujur dalam segala hal, sehingga masyarakat Quraisy pada masa itu menjuluki beliau dengan predikat "Al-Amin", yaitu "yang terpercaya". Lalu bagaimana dengan kita, ummat Islam? Kalau masih ada orang yang ragu dan tidak percaya dengan risalah Rasulullah SAW, maka berarti ia lebih jahil dari masyarakat Quraisy.


2. Amanah. Rasulullah SAW tidak pernah berkhianat dalam menyampaikan ajaran Islam kepada ummatnya. Beliau tidak pernah sedikitpun menyembunyikan wahyu Allah SWT untuk diajarkan kepada ummat manusia, sehingga ajaran Islam menjadi sempurna, tidak butuh pengurangan atapun penambahan. Seperti firman Allah SWT: " Pada hari ini telah Ku-sempurna kan untukmu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam sebagai agama bagimu." (QS. Al-Maidah: 3). Akan tetapi manusialah yang menjauhkan diri dari ajaran Islam, mereka enggan, malas disebabkan oleh pekerjaan duniawi, sehingga menjadi lupa bahkan tidak mau membaca apalagi mempelajarinya.


Kalau kita bicara tentang amanah, sungguh amanah sangat berat tanggung jawabnya di hadapan Allah SWT. Ketika seseorang diperintahkan untuk menyampaikan suatu amanah kepada orang lain, maka wajib baginya menyampaikan amanah tersebut kepada orang yang berhak. Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya Allah SWT menyuruh kamu menyampaikan amanah itu kepada yang berhak menerimanya." (QS. An-Nisa: 58).


Ibnu Katsir menyatakan: bahwa ayat itu umum. Semua amanah yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban manusia, wajib dilaksanakan. Karena kehidupan ini tidak pernah lepas dari amanah. Ada amanah kita kepada Allah yang wajib dilaksankan seperti shalat, zakat, puasa, nazar dan ibadah-ibadah lainnya. Atau amanah kita kepada orang lain bahkan amanah kepada kita diri sendiri. Seperti seorang pelajar yang yang mempunyai amanah belajar, kepala rumah tangga yang mempunyai amanah bekerja. Semua anggota badan kita adalah amanah, agar kita menggunakannya sesuai hak-hak dan kewajiban masing-masing anggota badan tersebut. Janganlah sekali-kali menganggap remeh suatu perbuatan, karena hidup adalah amanah. Wallahu a'lam

[+/-] Selengkapnya...

Amanah Seorang Khalifah

Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz dikunjungi bibinya yang bermaksud meminta tambahan tunjangan dari baitul mal. Ketika itu, Amirul Mukminin sedang makan kacang bercampur bawang dan adas, makanan rakyat pada umumnya.

Amirul Mukminin pun menghentikan makan nya, lalu mengambil sekeping uang satu dirham dan membakarnya. Dibungkusnya uang itu dengan sepotong kain dan diberikannya kepada bibnya seraya berkata, "Inilah tambahan tunjangan uang yang bibi minta."

Bibinya pun menjerit kepanasan ketika menyentuh bungkusan berisi uang logam panas itu. Umar r.a. berkata, "Kalau api dunia terasa sangat panas, bagaimana kelak api neraka yang akan membakar aku dan Bibi karena mengkhianati amanah dan menyelewengkan harta kaum muslimin?"

[+/-] Selengkapnya...

'Aku' dan Saudara-saudara-'nya'

Sebuah gambaran yang sangat berbahaya yang semestinya diwaspadai setiap orang adalah memandang hebat dirinya. Ia merasa memiliki kemampuan dan kelebihan diatas orang lain. Perasaan seperti itu atas dirinya ketika menghinggapi seseorang akan menjadikan seorang itu sering dan suka membicarakan dirinya, tidak suka atas kritikan orang lain, menganggap besar atas apa yg telah dilakukannya, banyak menggunakan ucapan: Aku, kalau aku.. milikku.. itu karena aku.. dsb.

Bahaya dari gambaran seperti ini akan menghalangi seseorang terhadap keikhlasannya. Seseorang yang selalu menyandarkan keberhasilan dirinya karena kemampuan dirinya dan berkat usahanya akan menjauhkan dirinya dari taufik Allah, bahkan menjadikan dirinya tempat kemurkaaan Allah. Rosulullah bersabda : "Tidaklah seseorang mengganggap besar dirinya, berjalan sambil menyombongkan diri kecuali ia akan bertemu Allah sedangkan Allah murka terhadapnya." (Shohihul Jami' Al-Shoghir: 5711)


Ketika seorang menganggap besar dirinya ia justru menjadi kecil disisi Tuhannya. Itulah sebabnya mengapa 'merasa bangga dengan diri sendiri' atau 'ujub' adalah hal yang sangat berbahaya. Ia akan menghapuskan amal kebaikan bahkan amalan yang yang telah dilakukannya dengan penuh keikhlasan. Oleh sebab itulah Rosulullah sering sekali mengingatkan sahabat-sahabatnya untuk berhati-hati dari ujub, beliau bersabda: "Kalau sekiranya kalian tidak pernah berdosa, sungguh yang aku takutkan atas kalian sesuatu yang lebih besar dari itu : ujub .. ujub.." (Hadist Hasan dari kitab Shohihul Jami': 5303 dan Silsilah Shohihah : 658)


Ibnul Qoyyim pernah mengungkapkan : "Jika engkau tidur pada malam hari, lalu engkau bangun pada pagi harinya dengan penuh penyesalan, itu lebih baik bagimu dari pada engkau bangun lalu sholat qiyamullail dan pada bagi harinya engkau bangga dengan hal itu. Jika engkau tertawa sedangkan dalam hati engkau mengakui kesalahan dan dosamu, itu lebih baik dari pada engkau menangis dan engkau ingin menunjukan bahwa engkau menangis. Seorang yang merintih karena dosa lebih dicintai oleh Allah dari pada seorang yang bersuara keras bertasbih karena ingin menunjukan kalau ia bertasbih." (Tahzib Madarik Al-Sholihin hal. 120)


Para sahabat dan salafusholih yang seluruh umat saat ini mengakui kebesaran mereka, tidak pernah membanggakan diri mereka dan justru mengatakan hal sebaliknya. Seperti itulah perkataan Abu Bakar ra ketika diangkat menjadi kholifah : "Aku telah diangkat menjadi pemimpin kalian sedangkan aku bukanlah orang yang terbaik diantara kalian." Sedangkan semua telah mengakui sebaik-baik manusia setelah Nabi SAW adalah Abu Bakar ra.


Sayyidah Aisyah ra berkata : "Suatu ketika aku memakai baju baruku, lalu aku memandanginya dengan penuh takjub. Abu Bakar berkata: "Apa yang sedang engkau lihat wahai Aisyah? Sesungguhnya Allah tidak melihat kepadamu". Aku berkata : "Mengapa seperti itu?" Abu Bakar berkata: "Tidakkah engkau mengetahui bahwa jika seorang hamba merasa takjub dengan perhiasan dunia, Allah murka padanya sehingga ia melepaskan perhiasan itu". Aisyah berkata: "Lalu aku lepaskan pakaian itu dan aku bersedekah dengannya. Maka Abu Bakar berkata: "Semoga Allah mengampunimu". ( Hilyatul Auliya, Abu Nuaim : 1 /37)


Begitulah para pendahulu dan teladan kita selalu menyandarkan keutamaan yang dimilikinya hanya kepada Zat yang memiliki segala keutamaan. Mengembalikan pujian hanya kepada Zat yang berhak dipuji. Mengembalikan segala bentuk kesuksesan hanya kepada Allah SWT semata. Bukan justru mengatakan : "ohh.. itu gue banget..." Alangkah indahnya jika ucapan yang keluar dari bibir seperti halnya perkataan Bilal ra: "Ana lastu illa maa a'thoni Robbii". (Aku bukanlah apa-apa.. kecuali apa telah Tuhanku berikan padaku)


Akhirnya, seyogyanya bagi kita untuk tidak menganggap baik diri kita, akan tetapi berhati-hati darinya. Kehidupan kita tidak ada apa-apanya tanpa Allah. Sesungguhnya pelajaran dan tauladan itu bukan hanya dengan menunaikan amal sholih saja, akan tetapi sangat bergantung dengan kesungguhan menggapaikan keridhoan Allah dalam amal sholeh itu.


Seperti halnya doa seorang hamba yang sholeh yang digambarkan di dalam Al-Quran : "Dan untuk aku beramal sholeh yang Engkau ridhoi." ( Al-Ahqof:15)


Ketika kita semakin menjauh dari gambaran berbahaya diatas, kita akan semakin mendekat untuk menggapai keridhoan Allah. Dan setelah itu, taufiq dan pertolongan-Nya akan datang bersamaan. Wallahu a'lam bishowab.

[+/-] Selengkapnya...