Tangisan Abdullah bin Marzuq

Abu Sa'id meriwayatkan dengan sanadnya bahwa Abdullah bin Marzuq pernah bersama al-Mahdi di tengah dunia yang luas. Suatu hari ia minum dengan diiringi senda gurau dan sima' (nyanyian dan musik), sehingga tidak shalat Zhuhur, Ashar dan Maghrib. Sebenarnya sahaya wanitanya sudah mengingat-kan tentang semua itu. Ketika datang waktu Isya', sahaya wa-nita tersebut datang dengan membawa bara api lalu diletakkan di atas kakinya. Dia terperanjat seraya berkata, "Apa ini?" Sahaya wanita itu berkata, "Ini bara api dunia, lalu bagaimana halnya dengan api neraka?" Maka ia pun menangis dengan tangisan yang keras. Kemudian ia menunaikan shalat sambil menangis.

Apa yang dikatakan sahaya wanita tersebut sangat ber-kesan dalam jiwanya. Ia tidak melihat sesuatu pun yang dapat menyelamatkan dirinya kecuali berpisah dengan hartanya yang selama ini dinikmatinya. Ia lalu memerdekakan para sahaya wanitanya, meminta maaf kepada semua pihak yang pernah berinteraksi dengannya, dan menyedekahkan hartanya yang masih tersisa. Akhirnya ia menjadi penjual sayur, dan sahaya-nya tadi selalu mengikutinya.

Suatu kali Sufyan bin Uyainah dan al-Fudhail bin Iyadh menjenguknya, ternyata keduanya menjumpai batu bata di bawah kepalanya dan tidak ada sesuatu pun di bawahnya. Melihat hal itu, Sufyan bin Uyainah berko-mentar untuknya, "Tidaklah seseorang meninggalkan sesuatu karena Allah, melainkan Allah menggantikan untuknya dengan suatu ganti. Apakah yang Allah gantikan kepadamu dari segala yang engkau tinggalkan karenaNya?" Ia menjawab, "Ridha de-ngan apa yang aku jalani."

Yakni, ridha dengan kemuliaan zuhud dari dunia yang hina dina ini dengan segala kerusakan dan godaannya yang disifati oleh orang bijak dengan pernyataannya, "Jika datang, ia menjatuhkan. Jika tampak, ia membuat ketakutan. Jika matang, ia menjadi busuk. Betapa banyak orang sakit yang kita jenguk namun kita sendiri tidak mau kembali. Betapa banyak kubur yang dibangun namun kita tidak mau bertaubat. Betapa banyak raja yang memiliki banyak monumen, namun setelah mencapai puncaknya, ia mati."


(Sumber : www.kebunhikmah.com)

[+/-] Selengkapnya...

Di Sini, Di Dalam Jiwa ini..

Di sini, Di Dalam Jiwa ini…
Sesungguhnya termasuk kebaikan jiwaku adalah pengetahuanku
tentang kerusakan jiwaku. (Wahid bin Wurd)

Kita banyak tahu tentang kebaikan, bahkan kita sering ingin melakukannya. Tapi jujur saja,kita masih sering gagal untuk menunaikannya. Seperti juga keburukan, kita tahu bahwa itu tidak boleh dilakukan. Tetapi, justru kita terdorong untuk melakukannya. Kita sering lepas kendali mengawal diri sendiri.


Sulit mengatasi kecendrungan yang berulangkali mengajak pada suasana yang sebenarnya kita sendiri tidak ingin ada di dalamnya. Entahlah, seolah ada kekuatan lain yang lebih kuat dalam membentuk dan mengendalikan diri kita. Itulah inti masalah yang kita hadapi, kita kerap gagal dan tak mampu mengendalikan diri kita sendiri. Tepat seperti ungkapan orang-orang bijak “Musuh kita adalah diri kita sendiri”.

Padahal kemampuan mengendalikan diri menurut Rasulullah adalah parameter seseorang untuk bisa disebut kuat atau lemah. ”Orang yang kuat itu bukan yang menang dalam pertarungan, api orang yang mampu mengendalikan amarahnya.”

Amru bin Ahtam, seorang ulama dikalangan Tabi’in, menyebut orang yang mampu menundukkan nafsunya dengan istilah asyja’u rijal atau orang yang paling berani. Ia pernah di Tanya oleh Mu’awiyah :”Siapa orang yang paling berani?” Amru bin Atham menjawab :”Orang yang bisa menolak kebodohan dirinya dengan sikap lapang dada yang dimilikinya. Dialah orang yang paling berani.” (Al Hilm, Ibnu Abi Dunia, 31)

Apa yang harus kita lakukan untuk mengembalikan kepemimpinan pada diri kita sendiri? Jawabannya sama dengan apa yang harus kita lakukan ketika berhadapan dengan musuh. Tak ada jalan lain, kecuali diperangi. Para ulama kerap mengistilahkan perang batin ini dangan mujahadah. Perang batin jelas berbeda dengan perang zahir, musuh di perang zahir dapat dilihat dan tipu dayanya dapat diidentifikasi lewat akal dan penglihatan kita. Tapi musuh batin tidak sama demikian halnya.

Dalam beberapa sisi, perang melawan batin justru jauh lebih hebat disbanding perang zahir. Alasannya, medan perangnya ada di dalam diri kita sendiri. Serangan, tikaman dan ledakannya bisa terjadi di dalam diri kita, setiap waktu dan bisa bertubi-tubi. Walaupun tidak terdengar dentumannya, tapi akibatnya sangat berbahaya. Justru kebanyakan orang yang mampu mengalahkan musuh zahir, ternyata gagal mengalahkan musuh batinnya sendiri. Ia tak mampu mengalahkan hawa nafsunya sendiri.

Kita akan semakin mengerti, betapa hebatnya perang melawan hawa nafsu yang sulit dideteksi. Seorang pemuda pernah bertanya kepada ustadz Fathy Yakan juru dakwah terkenal asal Yordania. “Saya gagal, putus asa, tidak sempurna dalam berbagai amal karna saya selalu dihantui perasaan riya.” Kata pemuda itu. Ia bahkan berniat akan mengurangi amal ibadahnya dan aktivitas dakwahnya supaya tidak terjerumus pada sikap riya. Ustadz Fathy Yakan menjawab.” Siapa manusia yang tidak pernah terganggu riya? Kita manusia, semua mengalaminya.” Ia lantas mengutip sebuah hadis Rasulullah, “Andai manusia tidak melakukan kesalahan niscaya Allah aka datangkan satu kaum yang melakukan kesalahan kemudian mereka bertaubat dan Allah menerima taubat mereka.” (HR Muslim dan Ahmad)

Tentu saja, hadits itu tidak untuk menyepelekan sebuah dosa termasuk riya. Tapi hadits itu lebih mengarahkan pada dorongan untuk melakukan perbaikan dan taubat. Fathy Yakan mengatakan, “Ibadah dan amalan kebaikan itu sendiri merupakan bagian dari terapi yang ampuh atas dosa yang engkau lakukan.” Perhatikanlah bagaimana jawaban Rasulullah r tatkala ada seorang pemuda yang bertanya padanya, “Ya Rasulullah, bagaimana jika ada seorang yang melakukan shalat malam, tapi waktu siang ia mencuri?“ Apa jawaban Rasulullah? “‘Amaluhu yanhahu ‘amma taquulu,”amal ibadahnya akan mengahalanginya dari mencuri”.

Jawaban ini sama seperti yang pernah dikatakan oleh seorang Salafushalih tatkala seorang bertanya padanya, “mana yang lebih baik apakah saya yang melakukan sujud tilawah namun orang-orang melihat saya dan saya khawatir riya, atau saya tidak melakukan sujud sehingga saya terhindar dari riya?” Orang shalih itu menjawab, ”Lakukan sujud tilawah dan lawan bisikan syaitan dalam dirimu.”

Apa inti jawaban para ulama terhadap rongrongan hawa nafsu itu? Lawan. Jangan pernah menyerah terhadap dorongan negative hawa nafsu. Ini adalah perang yang tak pernah usai dan tak boleh berhenti. Berhenti atau mengurangi amal ibadah, berarti keluar dari lingkup pemeliharaan dan perlindungan Allah. Artinya, seseorang akan cenderung terpuruk lebih jauh dari apa yang dikeluhkan akibat melakukan kesalahan. Ia telah memilih jalan kearah kesesatan, bukan jalan hidayah. Semoga Allah menghindarkan kita semua dari pilihan seperti itu.

Tentu saja kita harus teta memikirkan sebab-sebab yang menjadikan kita terjerumus pada satu dosa. Ini penting karena menurut Hasan Al Bashri, “Seorang hamba selalu berada dalam kebaikan selama ia mengetahui apa yang merusak amal-amalnya.” Ini adalah awal cara untuk mengobati semua masalah, yakni dengan mengetahui sebabnya. Bahkan ini juga merupakan satu bagian dari terapi kesalahan kita. Itulah yang diutarakan oleh Wahid bin wurd, “Inna min shalahi nafsi, ilmiibifasaadihaa..” Sesungguhnya termasuk kebaikan jiwaku adalah pengetahuanku tentang kerusakan jiwaku.

Betapa indah dan bijaknya nasehat sahabat Rasulullah, Ali bin Abi Thalib,” Hati terkadang memiliki kecenderungan menerima dan terkadang menolak. Bila ia dalam kondisi menerima, ajak ia untuk melakukan ibadah yang sunnah. Tapi jika ia dalam kondisi menolak, ajak dia untuk melakukan yang waib saja. Sampai kondisi menolak itu hilang, ajaklah ia kembali untuk melakukan yang sunnah.”

Saudaraku, Gendering perang itu telah lama bertalu disini, di dalam jiwa kita ini. Bersiap siagalah selalu.

(dinukil dari buku mencari mutiara didasar hati, karya Muhammad Nursani)


[+/-] Selengkapnya...

Sholat Malam Abu Hanifah

Yazid bin Al-Kimyat berkata: “Abu Hanifah adalah seorang yang sangat takut kepada Allah SWT, suatu malam Ali bin Al-Husain membaca Surat Al-Zilzalah (Idza Dzul zilatil ardhu zil zalaha) ketika sholat isya, dan Abu Hanifah berada di belakangnya.
Ketika selesai sholat, orang-orang keluar dari masjid dan aku melihat kepada Abu Hanifah sedang duduk, berdzikir kemudian ia sholat dan mengulangi membaca surat Al-Zilzalah.
Aku memutuskan untuk pergi meninggalkannya sehingga beliau tidak terganggu dengan keberadaanku.
Lalu aku keluar dari masjid. Ketika aku keluar, aku tinggalkan sebuah lampu yang minyaknya tinggal sedikit.
Ketika aku tiba kembali saat fajar, lalu aku mengumandangkan azan dan menyalakan lampu. Ketika itu aku melihat Abu Hanifah masih berdiri sambil membaca surat Al-Zilzalah berulang-ulang.
Ketika melihatku ia bertanya, “Apakah engkau akan mengambil lampu?” lalu ku jawab: “Aku telah mengumandangkan azan shubuh.”
Kemudian ia berkata: “Sembunyikan apa yang engkau lihat dariku”.
Lalu ia sholat dua rakaat, kemudian duduk menunggu iqomat, dan sholat shubuh bersama kami masih dengan wudhu tatkala ia sholat isya malam sebelumnya.

[+/-] Selengkapnya...

Airmata Rosulullah

Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam. “Bolehkah saya masuk?” tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk, “Maafkanlah, ayahku sedang demam,” kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu.
Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata
sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, “Siapakah itu wahai anakku?”
“Tak tahulah ayahku, orang sepertinya baru sekali ini aku melihatnya,” tutur Fatimah lembut.
Lalu, Rasulullah menatap puterinya itu dengan pandangan yang menggetarkan.
Seolah-olah bahagian demi bahagian wajah anaknya itu hendak dikenang.
“Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malaikatul maut,” kata Rasulullah.
Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya. Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut sama menyertainya.


Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini.
“Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?” Tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah.
“Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua syurga terbuka lebar menanti kedatanganmu, “ kata Jibril.
Tapi itu ternyata tidak membuatkan Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan. “Engkau tidak senang mendengar kabar ini?” Tanya Jibril lagi.
“Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?” “Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: “Kuharamkan syurga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya,”kata Jibril.
Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang.
“Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini.”Perlahan Rasulullah mengaduh.
Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka.
“Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?” Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu.
“Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal,” kata Jibril.
Sebentar kemudian terdengar Rasulullah mengaduh, karena sakit yang tidak tertahankan lagi.
“Ya Allah, sungguh dahsyat maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku. “Badan Rasulullah mulai dingiin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. “Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanukum (peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu).”
Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. “Ummatii, ummatii, ummatiii” (”Umatku, umatku, umatku”) Dan, berakhirlah hidup manusia mulia yang memberi sinaran itu.
Kini, mampukah kita mencintai sepertinya? Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa baarik wa salim’alaihi. Betapa cintanya Rasulullah kepada kita.
Usah gelisah apabila dibenci manusia karena masih banyak yang menyayangi mu di dunia ini, tapi gelisahlah apabila dibenci Allah karena tiada lagi yang mengasihmu di akhirat.


[+/-] Selengkapnya...

Makna Pengabdian

Senantiasa bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Raja, yang Maha Suci, yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,
Dan (juga) kepada kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka. dan Dia-lah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Demikianlah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah mempunyai karunia yang besar.
Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa Kitab-Kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.
(Al-Jumu’ah:1-5)


Siang itu pada saat para shahabat sedang mendengarkan khutbah Jum’at dari Rasulullah SAW, tiba-tiba datang kafilah dagang yang membawa bahan makanan memasuki kota Madinah dalam jumlah besar, sehingga membuat jama’ah shalat Jum’at tersebut berpaling dan tersisa hanya 12 orang saja yang masih mendengarkan khutbah.


Maka turunlah ayat ke-11, “Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah: “Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”, dan Allah Sebaik-baik pemberi rezki.” Imam Bukhari meriwayatkan hadits ini dalam kitab shahihnya dari Jabir bin Abdullah.


Allah SWT membuka surah ini dengan menyebutkan berzikirnya apa yang ada di langit dan di bumi sebagai pelajaran bagi manusia untuk selalu berzikir kepada Allah SWT. Dan sebaik-baik zikir adalah mendirikan shalat 5 waktu. “Sesungguhnya sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar . Dan ketahuilah mengingat Allah dengan sholat itu lebih besar keutamaannya dari ibadah yang lain” (QS Al-Ankabut:45).


Dengan berzikir kepada Allah SWT, hati akan menjadi tenang, sebagaimana firman-Nya dalam surah Ar-Ra’d:28, “Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah lah hati menjadi tenteram.”
Jadi, puncak kebahagiaan seorang muslim adalah saat dirinya dekat dengan Allah SWT, Yang Maha Raja, Maha Suci dan Maha Bijaksana. Kebahagiaan itu bukan diukur dengan banyaknya harta atau besarnya kekuasaan yang dimiliki seseorang.


Jika demikian, maka Qarun dan Fir’aun merupakan manusia yang berbahagia tetapi justru sebaliknya. Dan Allah SWT mengancam orang-orang yang berpaling dari peringatan Allah dalam firmannya, “Dan barangsiapa berpaling dari peringatanku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan kami akan menghimpunnya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS Thaaha:124)


Pengabdian seorang manusia kepada Allah SWT adalah pengisian hidup dengan semua kebaikan yang dirumuskan oleh Sang Pencipta sebagaimana yang tertuang dalam ajaran Islam. Kesadaran inilah yang dapat memperkuat semangat dan membunuh penyakit kebosanan dan kejenuhan yang sering menjamur dalam jiwa manusia.


Selanjutnya Allah SWT mengutus Rasulullah SAW dengan tujuan untuk membacakan ayat-ayat Allah dan membersihkan jiwa dan nurani ummat. Pembersihan amal dan akhlak kita, kehidupan keluarga atau rumah tangga kita, kehidupan bermasyarakat, sehingga hati, jiwa maupun nurani seorang muslim itu bersih dari aqidah-aqidah syirik menuju kepada aqidah yang benar yang hanya menyembah kepada Allah SWT.


Sehingga Al-Quran diturunkan tidak hanya sekedar dibaca ataupun dijadikan hiasan rumah seorang muslim atau mahar saat pernikahan saja akan tetapi sebagai kitab yang mengajar seorang muslim untuk hanya menyembah kepada Allah SWT dan mengisi kehidupannya di dunia dengan kebaikan hingga menghadap Allah SWT. Dalam firmanNya, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepadaNya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan muslim.” (QS Ali- Imran:102)

Wallahu a’lam bishowab

[+/-] Selengkapnya...

Pewarnaan dan Perubahan

Telah cukup panjang pembahasan kita tentang syahadat, dan telah kita bahas dalam beberapa edisi. Pembahasan yang begitu panjang ini akan membawa kita pada sebuah pemahaman penting tentang sebuah ucapan dari kalimat yang begitu agung yang sering kita dengar di telinga kita, bahkan membangunkan kita pada saat waktu subuh menjelang.

Dua kalimat syahadat merupakan keyakinan yang tertanam di lubuk hati setiap muslim. Ia terdiri dari dua bagian yaitu pengakuan bahwa tiada ilah (tuhan) yang berhak disembah selain Allah SWT dan pengakuan bahwa Muhammad adalah Rasulullah. Iman bukan merupakan angan-angan tetapi menuntut perbuatan yang mencerminkan nilai-nilai iman tersebut. Nilai iman adalah nilai kalimat syahadatain yang mesti tegak dan diamalkan secara baik dalam kehidupan.

Nilai kalimat syahadat ini dapat tereralisasi jika seseorang memiliki interaksi yang kuat dengan Al-Quran, kedekatan dengan Al-Quran mendorong seseorang untuk tidak sekedar membaca, namun menjadikan tuntunan Al-Quran adalah pedoman hidupannya.

Maka ketika naungan Al-Quran bersamanya, ia akan mendapat kebahagiaan sesungguhnya di dunia dan akherat. Itulah yang di maksud dengan pewarnaan, hidupnya terwarnai dengan warna ilahi, dan warna ilahi itu akan ia dapatkan ketika ia mau mewarnai hidupnya dengan warna Al-Quran. Allah berfirman: “Shibghah (celupan) Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya (celupannya) daripada Allah? Dan hanya kepada-Nya lah kami menyembah”. (QS 2:138)

Bagian kedua dari syahadatain adalah Pengakuan Bahwa Muhammad Rasululllah ini adalah merupakan penerimaan secara ikhlas dan senang hati bahwa Muhammad SAW sebagai utusan Allah SWT.

Dengan penerimaan ini muncul kesediaan untuk menjadikan Rasulullah SAW sebagai teladan. Menjadikan sunahnya sebagai landasan kedua setelah Al-Quran. Ketika seorang telah menjadikan dua kalimat syahadat ini sebagai titik tolak perubahan dalam hidupnya, maka secara bersamaan ia akan menjadikan Al-Quran dan As-Sunah sebagai pedoman hidupnya.

Dengan keimanan yang benar maka perilaku dan kehidupan mukmin diwarnai oleh Allah SWT. Fenomenanya adalah berubahnya seluruh aktifitas hidupnya menjadi ibadah kepada Allah SWT.
Makna atas pemahaman syahadat yang telah masuk ke dalam diri seorang mukmin dan mewarnai hidupnya akan melahirkan perubahan yang menyeluruh pada diri dan hidupnya. Perubahan itu mencakup perubahan keyakinan, pemikiran, perasaan dan tingkah laku.

Pertama, Al-Inqilabul Al-I’tiqaadi (Perubahan Keyakinan)
Sebelum melafazkan syahadat dan memahaminya mungkin seorang berkeyakinan bahwa loyalitas dan ketaatan dapat diberikan kepada tanah air, bangsa, masyarakat, seni, ilmu dan sebagainya, di samping mengabdi kepada Allah SWT. Tetapi setelah bersyahadat ia melepaskan semua itu dan hanya menjadikan Allah SWT sebagai satu-satunya yang disembah, ditaati dan dimintai pertolongan di atas segalanya.

Kedua: Al-Inqilab Al-Fikri (Perubahan Pemikiran)
Sebelum meyakini syahadatnya mungkin ia berfikir boleh menerima syariat, aturan hidup dan perundang-undangan bersumber kepada adat istiadat datuk atau nenek moyang, pemikiran jahiliyah dari ilmuwan dan filosof, hawa nafsu penguasa dan sebagainya. Setelah memahami dengan benar kandungan dari makna syahadatain maka ia hanya mengikuti pola fakir Islam yang bersumber dari Allah SWT dan RasulNya, kemudian hasil ijtihad orang-orang mukmin yang sesuai dengan bimbingan Allah SWT dan Rasul.

Ketiga: Al-Inqilab Asy-Syu’uri (Perubahan Perasaan)
Sebelum memahami syahadatain ini mungkin perasaannya yang berupa cinta, takut, benci, marah, sedih atau senang ditentukan oleh situasi dan kondisi yang menimpa dirinya atau keadaan di sekelilingnya. Misalnya, ia senang mendapat keuntungan dari hasil usahanya, mendapat baju yang paling trendy, mendapat profesi yang menguntungkan. Sedih karena hilangnya kekayaan, merasa hina karena kemiskinan dan sebagainya.

Maka setelah menghayati makna syahadatain, tiada yang menyenangkan dan menyedihkan melainkan semua terkait dengan ketentuan dan takdir Allah SWT. Maka ia sedih bila ada yang masuk ke dalam kekufuran, sedih bila ada muslim yang disakiti, sedih memikirkan nasib kaum muslimin yang terzholimi oleh orang kafir dan zionis. Dan sebaliknya, ia merasa senang dengan kemajuan dakwah, kebangkitan umat dan sebagainya.

Keempat: Al-Inqilab As-Suluuki (Perubahan Tingkah Laku)
Sebelum mengerti kandungan syahadatain, mungkin tingkah laku seseorang mengikuti hawa nafsunya, menuruti bagaimana kondisi lingkungan. Berpakaian, bersikap, bergaul, mengisi waktu dengan kebiasaan-kebiasaan jahilyah yang tidak ada tuntunannya dari Islam. Tetapi setelah mengerti syahadatain ini ia berubah. Tingkah lakunya mencerminkan akhlak Islam, pergaulannya mengikuti syariah, waktunya diisi dengan hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya maupun orang lain.

Dengan adanya perubahan pada empat hal di atas maka seseorang akan memiliki kepribadian yang Islami. Pribadi ini mendasarkan keyakinan, bentuk berfikir, emosi, sikap, pandangan, tingkah laku, pergaulan dan masalah apa saja dengan dasar Islam. Akhlak pribadi yang Islami terdapat dalam diri Rasulullah. Nabi SAW memiliki akhlak yang disenangi oleh musuh atau kawan, justru dengan akhlak Nabi ini dapat menarik manusia kafir untuk mengikuti Islam.

Tatkala seorang muslim telah memiliki kepribadian Islami yang utuh, maka ia akan memiliki nilai di sisi Allah SWT. Pribadi-pribadi ini dalam jumlah yang banyak bergabung menjadi umat. Bila umat Islam telah memiliki banyak pribadi seperti ini ia akan diperhitungkan oleh lawan-lawannya. Umat seperti ini mampu membawa amanah dan menjalankan perannya sebagai pembawa kemakmuran dan kesejahteraan bagi semesta alam.

Wallahu a’lam bisshowab

[+/-] Selengkapnya...

Sang Pembawa Gandum

Zainal Abidin bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Tholib adalah seorang yang sangat dermawan dan peduli terhadap para fakir miskin.

Ketika ada orang yang mengetuk pintu rumahnya, ia akan menemui orang tersebut dengan sangat senang.

Beliau selalu memikul roti dan gandum untuk dibagikan pada penduduk Madinah di kegelapan malam. Dan itu beliau lakukan lebih dari seratus rumah dari rumah orang-orang miskin.

Sedangkan penduduk Madinah tidak mengetahui siapakah yang mengantarkan gandum dan roti itu di depan rumah mereka pada waktu malam.

Ketika beliau wafat, terhentilah pemberian gandum dan roti ini kepada penduduk Madinah. Tatkalah beliau dimandikan, didapati bekas hitam di pundak beliau. Sehingga barulah mereka mengetahui siapa sebenarnya pembawa gandum tersebut.

Sumber : Kitab 300 Mauqif Fii Az-Zuhd war Raqoiq halaman 82, 86




[+/-] Selengkapnya...

Rahasia Terkabulnya Doa

Diceritakan bahwa suatu ketika kota madinah mengalami kekeringan dan hujan sudah lama tidak turun.

Maka tatkala penduduk Madinah berdoa minta agar hujan diturunkan, datang seseorang lalu sholat dua rakaat, kemudian menengadakan tangannya ke langit dan berdoa. Belum lagi ia menyelesaikan doanya kemudian langit menjadi mendung dan hujan turun dengan derasnya.

Penduduk Madinah berteriak karena takut terjadi banjir. Lalu orang tersebut berdoa, “Ya Allah sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa mereka telah cukup, maka hentikanlah hujan ini.” Seketika itu juga hujan berhenti.

Maka ketika orang itu pergi, ada seseorang yang mengikutinya sampai kerumahnya. Lalu orang itu berkata kepadanya: “Aku datang kepadamu karena ada suatu keperluan”. Orang itu menjawab “Apa itu?”. “Aku melihatmu berdoa, dan doamu didengar Allah. Apa rahasianya?”

Orang itu menjawab: “Aku hanya mentaati Allah atas apa yang ia perintah dan Ia larang kepadaku, maka aku memohon pada-Nya dan Ia mengabulkan permohonanku.”




[+/-] Selengkapnya...