Pengumuman Nama-nama Mahasiswa Baru Universitas Islam Madinah 1429/1430 H (Indonesia)

1. Abdullah Fahmi Majid
2. Abubakar Shiddiq
3. Ahmad Ghozali Ismail
4. Ahmad Sholahudin
5. Ahmad Wahyudi
6. Alamsyah Medwikromo
7. Amha Hasan Nasrullah
8. Ariful Bahri Alizar
9. Armin Akbar Bahanan
10. Baidhowi Razi Muhamad Zaini
11. Bambang Sahubala
12. Deni Irawan bin Sarbini
13. Endang Sutedi bin Rusydi
14. Fakhri Basyarahil
15. Farhan bin Zamzami Al-Kambari
16. Farid Luthfi
17. Haidar Rohman bin DR. Nads H. Muhamad ZR
18. Handono Ilyas Suseno
19. Harwan Laba
20. Iksan Dwi Santoso
21. Irsyad Hasan
22. Ismail bin Filumina
23. Ismail Margham
24. Khotamin Mat Shoim
25. Lalu Zulham bin Efendi
26. Lanlan Tuhfatun Nafsi
27. Mahdi Zulkifli
28. Mahmud Bakari
29. Maulana bin Landa
30. Muhamad Akrom Afifi
31. Muhamad Amin bin Abdul Muhith
32. Muhamad Farhan Mauludi
33. Muhamad Iqbal Ismail
34. Muhamad Mukhtarul Mukhlisin
35. Muhamad Nisfu Lail bin Sutarno
36. Muhamad Reza Nugraha
37. Muhamad Soleh
38. Muhamad Zaini Anwar bin Khoirul Anwar
39. Nurdiansyah Nasrudin
40. Rahmat Fauzan Azhari
41. Ridho Abdullah
42. Rohman Hakim
43. Romadhoni bin Yatmin
44. Roman Al-Wafi Ramadhan Shabahy
45. Sadam Husein
46. Saifudin Jaza
47. Wisnu Ali Gani
48. Zain Bahamid bin Ahmad Bahamid
49. Zainudin Mudaham
50. Zulfikar Syam


Untuk nama-nama dalam bahasa arab, silakan klik http://jabal-uhud.blogspot.com

[+/-] Selengkapnya...

Tangisan Abdullah bin Marzuq

Abu Sa'id meriwayatkan dengan sanadnya bahwa Abdullah bin Marzuq pernah bersama al-Mahdi di tengah dunia yang luas. Suatu hari ia minum dengan diiringi senda gurau dan sima' (nyanyian dan musik), sehingga tidak shalat Zhuhur, Ashar dan Maghrib. Sebenarnya sahaya wanitanya sudah mengingat-kan tentang semua itu. Ketika datang waktu Isya', sahaya wa-nita tersebut datang dengan membawa bara api lalu diletakkan di atas kakinya. Dia terperanjat seraya berkata, "Apa ini?" Sahaya wanita itu berkata, "Ini bara api dunia, lalu bagaimana halnya dengan api neraka?" Maka ia pun menangis dengan tangisan yang keras. Kemudian ia menunaikan shalat sambil menangis.

Apa yang dikatakan sahaya wanita tersebut sangat ber-kesan dalam jiwanya. Ia tidak melihat sesuatu pun yang dapat menyelamatkan dirinya kecuali berpisah dengan hartanya yang selama ini dinikmatinya. Ia lalu memerdekakan para sahaya wanitanya, meminta maaf kepada semua pihak yang pernah berinteraksi dengannya, dan menyedekahkan hartanya yang masih tersisa. Akhirnya ia menjadi penjual sayur, dan sahaya-nya tadi selalu mengikutinya.

Suatu kali Sufyan bin Uyainah dan al-Fudhail bin Iyadh menjenguknya, ternyata keduanya menjumpai batu bata di bawah kepalanya dan tidak ada sesuatu pun di bawahnya. Melihat hal itu, Sufyan bin Uyainah berko-mentar untuknya, "Tidaklah seseorang meninggalkan sesuatu karena Allah, melainkan Allah menggantikan untuknya dengan suatu ganti. Apakah yang Allah gantikan kepadamu dari segala yang engkau tinggalkan karenaNya?" Ia menjawab, "Ridha de-ngan apa yang aku jalani."

Yakni, ridha dengan kemuliaan zuhud dari dunia yang hina dina ini dengan segala kerusakan dan godaannya yang disifati oleh orang bijak dengan pernyataannya, "Jika datang, ia menjatuhkan. Jika tampak, ia membuat ketakutan. Jika matang, ia menjadi busuk. Betapa banyak orang sakit yang kita jenguk namun kita sendiri tidak mau kembali. Betapa banyak kubur yang dibangun namun kita tidak mau bertaubat. Betapa banyak raja yang memiliki banyak monumen, namun setelah mencapai puncaknya, ia mati."


(Sumber : www.kebunhikmah.com)

[+/-] Selengkapnya...

Di Sini, Di Dalam Jiwa ini..

Di sini, Di Dalam Jiwa ini…
Sesungguhnya termasuk kebaikan jiwaku adalah pengetahuanku
tentang kerusakan jiwaku. (Wahid bin Wurd)

Kita banyak tahu tentang kebaikan, bahkan kita sering ingin melakukannya. Tapi jujur saja,kita masih sering gagal untuk menunaikannya. Seperti juga keburukan, kita tahu bahwa itu tidak boleh dilakukan. Tetapi, justru kita terdorong untuk melakukannya. Kita sering lepas kendali mengawal diri sendiri.


Sulit mengatasi kecendrungan yang berulangkali mengajak pada suasana yang sebenarnya kita sendiri tidak ingin ada di dalamnya. Entahlah, seolah ada kekuatan lain yang lebih kuat dalam membentuk dan mengendalikan diri kita. Itulah inti masalah yang kita hadapi, kita kerap gagal dan tak mampu mengendalikan diri kita sendiri. Tepat seperti ungkapan orang-orang bijak “Musuh kita adalah diri kita sendiri”.

Padahal kemampuan mengendalikan diri menurut Rasulullah adalah parameter seseorang untuk bisa disebut kuat atau lemah. ”Orang yang kuat itu bukan yang menang dalam pertarungan, api orang yang mampu mengendalikan amarahnya.”

Amru bin Ahtam, seorang ulama dikalangan Tabi’in, menyebut orang yang mampu menundukkan nafsunya dengan istilah asyja’u rijal atau orang yang paling berani. Ia pernah di Tanya oleh Mu’awiyah :”Siapa orang yang paling berani?” Amru bin Atham menjawab :”Orang yang bisa menolak kebodohan dirinya dengan sikap lapang dada yang dimilikinya. Dialah orang yang paling berani.” (Al Hilm, Ibnu Abi Dunia, 31)

Apa yang harus kita lakukan untuk mengembalikan kepemimpinan pada diri kita sendiri? Jawabannya sama dengan apa yang harus kita lakukan ketika berhadapan dengan musuh. Tak ada jalan lain, kecuali diperangi. Para ulama kerap mengistilahkan perang batin ini dangan mujahadah. Perang batin jelas berbeda dengan perang zahir, musuh di perang zahir dapat dilihat dan tipu dayanya dapat diidentifikasi lewat akal dan penglihatan kita. Tapi musuh batin tidak sama demikian halnya.

Dalam beberapa sisi, perang melawan batin justru jauh lebih hebat disbanding perang zahir. Alasannya, medan perangnya ada di dalam diri kita sendiri. Serangan, tikaman dan ledakannya bisa terjadi di dalam diri kita, setiap waktu dan bisa bertubi-tubi. Walaupun tidak terdengar dentumannya, tapi akibatnya sangat berbahaya. Justru kebanyakan orang yang mampu mengalahkan musuh zahir, ternyata gagal mengalahkan musuh batinnya sendiri. Ia tak mampu mengalahkan hawa nafsunya sendiri.

Kita akan semakin mengerti, betapa hebatnya perang melawan hawa nafsu yang sulit dideteksi. Seorang pemuda pernah bertanya kepada ustadz Fathy Yakan juru dakwah terkenal asal Yordania. “Saya gagal, putus asa, tidak sempurna dalam berbagai amal karna saya selalu dihantui perasaan riya.” Kata pemuda itu. Ia bahkan berniat akan mengurangi amal ibadahnya dan aktivitas dakwahnya supaya tidak terjerumus pada sikap riya. Ustadz Fathy Yakan menjawab.” Siapa manusia yang tidak pernah terganggu riya? Kita manusia, semua mengalaminya.” Ia lantas mengutip sebuah hadis Rasulullah, “Andai manusia tidak melakukan kesalahan niscaya Allah aka datangkan satu kaum yang melakukan kesalahan kemudian mereka bertaubat dan Allah menerima taubat mereka.” (HR Muslim dan Ahmad)

Tentu saja, hadits itu tidak untuk menyepelekan sebuah dosa termasuk riya. Tapi hadits itu lebih mengarahkan pada dorongan untuk melakukan perbaikan dan taubat. Fathy Yakan mengatakan, “Ibadah dan amalan kebaikan itu sendiri merupakan bagian dari terapi yang ampuh atas dosa yang engkau lakukan.” Perhatikanlah bagaimana jawaban Rasulullah r tatkala ada seorang pemuda yang bertanya padanya, “Ya Rasulullah, bagaimana jika ada seorang yang melakukan shalat malam, tapi waktu siang ia mencuri?“ Apa jawaban Rasulullah? “‘Amaluhu yanhahu ‘amma taquulu,”amal ibadahnya akan mengahalanginya dari mencuri”.

Jawaban ini sama seperti yang pernah dikatakan oleh seorang Salafushalih tatkala seorang bertanya padanya, “mana yang lebih baik apakah saya yang melakukan sujud tilawah namun orang-orang melihat saya dan saya khawatir riya, atau saya tidak melakukan sujud sehingga saya terhindar dari riya?” Orang shalih itu menjawab, ”Lakukan sujud tilawah dan lawan bisikan syaitan dalam dirimu.”

Apa inti jawaban para ulama terhadap rongrongan hawa nafsu itu? Lawan. Jangan pernah menyerah terhadap dorongan negative hawa nafsu. Ini adalah perang yang tak pernah usai dan tak boleh berhenti. Berhenti atau mengurangi amal ibadah, berarti keluar dari lingkup pemeliharaan dan perlindungan Allah. Artinya, seseorang akan cenderung terpuruk lebih jauh dari apa yang dikeluhkan akibat melakukan kesalahan. Ia telah memilih jalan kearah kesesatan, bukan jalan hidayah. Semoga Allah menghindarkan kita semua dari pilihan seperti itu.

Tentu saja kita harus teta memikirkan sebab-sebab yang menjadikan kita terjerumus pada satu dosa. Ini penting karena menurut Hasan Al Bashri, “Seorang hamba selalu berada dalam kebaikan selama ia mengetahui apa yang merusak amal-amalnya.” Ini adalah awal cara untuk mengobati semua masalah, yakni dengan mengetahui sebabnya. Bahkan ini juga merupakan satu bagian dari terapi kesalahan kita. Itulah yang diutarakan oleh Wahid bin wurd, “Inna min shalahi nafsi, ilmiibifasaadihaa..” Sesungguhnya termasuk kebaikan jiwaku adalah pengetahuanku tentang kerusakan jiwaku.

Betapa indah dan bijaknya nasehat sahabat Rasulullah, Ali bin Abi Thalib,” Hati terkadang memiliki kecenderungan menerima dan terkadang menolak. Bila ia dalam kondisi menerima, ajak ia untuk melakukan ibadah yang sunnah. Tapi jika ia dalam kondisi menolak, ajak dia untuk melakukan yang waib saja. Sampai kondisi menolak itu hilang, ajaklah ia kembali untuk melakukan yang sunnah.”

Saudaraku, Gendering perang itu telah lama bertalu disini, di dalam jiwa kita ini. Bersiap siagalah selalu.

(dinukil dari buku mencari mutiara didasar hati, karya Muhammad Nursani)


[+/-] Selengkapnya...

Sholat Malam Abu Hanifah

Yazid bin Al-Kimyat berkata: “Abu Hanifah adalah seorang yang sangat takut kepada Allah SWT, suatu malam Ali bin Al-Husain membaca Surat Al-Zilzalah (Idza Dzul zilatil ardhu zil zalaha) ketika sholat isya, dan Abu Hanifah berada di belakangnya.
Ketika selesai sholat, orang-orang keluar dari masjid dan aku melihat kepada Abu Hanifah sedang duduk, berdzikir kemudian ia sholat dan mengulangi membaca surat Al-Zilzalah.
Aku memutuskan untuk pergi meninggalkannya sehingga beliau tidak terganggu dengan keberadaanku.
Lalu aku keluar dari masjid. Ketika aku keluar, aku tinggalkan sebuah lampu yang minyaknya tinggal sedikit.
Ketika aku tiba kembali saat fajar, lalu aku mengumandangkan azan dan menyalakan lampu. Ketika itu aku melihat Abu Hanifah masih berdiri sambil membaca surat Al-Zilzalah berulang-ulang.
Ketika melihatku ia bertanya, “Apakah engkau akan mengambil lampu?” lalu ku jawab: “Aku telah mengumandangkan azan shubuh.”
Kemudian ia berkata: “Sembunyikan apa yang engkau lihat dariku”.
Lalu ia sholat dua rakaat, kemudian duduk menunggu iqomat, dan sholat shubuh bersama kami masih dengan wudhu tatkala ia sholat isya malam sebelumnya.

[+/-] Selengkapnya...

Airmata Rosulullah

Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam. “Bolehkah saya masuk?” tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk, “Maafkanlah, ayahku sedang demam,” kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu.
Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata
sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, “Siapakah itu wahai anakku?”
“Tak tahulah ayahku, orang sepertinya baru sekali ini aku melihatnya,” tutur Fatimah lembut.
Lalu, Rasulullah menatap puterinya itu dengan pandangan yang menggetarkan.
Seolah-olah bahagian demi bahagian wajah anaknya itu hendak dikenang.
“Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malaikatul maut,” kata Rasulullah.
Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya. Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut sama menyertainya.


Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini.
“Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?” Tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah.
“Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua syurga terbuka lebar menanti kedatanganmu, “ kata Jibril.
Tapi itu ternyata tidak membuatkan Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan. “Engkau tidak senang mendengar kabar ini?” Tanya Jibril lagi.
“Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?” “Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: “Kuharamkan syurga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya,”kata Jibril.
Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang.
“Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini.”Perlahan Rasulullah mengaduh.
Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka.
“Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?” Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu.
“Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal,” kata Jibril.
Sebentar kemudian terdengar Rasulullah mengaduh, karena sakit yang tidak tertahankan lagi.
“Ya Allah, sungguh dahsyat maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku. “Badan Rasulullah mulai dingiin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. “Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanukum (peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu).”
Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. “Ummatii, ummatii, ummatiii” (”Umatku, umatku, umatku”) Dan, berakhirlah hidup manusia mulia yang memberi sinaran itu.
Kini, mampukah kita mencintai sepertinya? Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa baarik wa salim’alaihi. Betapa cintanya Rasulullah kepada kita.
Usah gelisah apabila dibenci manusia karena masih banyak yang menyayangi mu di dunia ini, tapi gelisahlah apabila dibenci Allah karena tiada lagi yang mengasihmu di akhirat.


[+/-] Selengkapnya...

Makna Pengabdian

Senantiasa bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Raja, yang Maha Suci, yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,
Dan (juga) kepada kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka. dan Dia-lah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Demikianlah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah mempunyai karunia yang besar.
Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa Kitab-Kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.
(Al-Jumu’ah:1-5)


Siang itu pada saat para shahabat sedang mendengarkan khutbah Jum’at dari Rasulullah SAW, tiba-tiba datang kafilah dagang yang membawa bahan makanan memasuki kota Madinah dalam jumlah besar, sehingga membuat jama’ah shalat Jum’at tersebut berpaling dan tersisa hanya 12 orang saja yang masih mendengarkan khutbah.


Maka turunlah ayat ke-11, “Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah: “Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”, dan Allah Sebaik-baik pemberi rezki.” Imam Bukhari meriwayatkan hadits ini dalam kitab shahihnya dari Jabir bin Abdullah.


Allah SWT membuka surah ini dengan menyebutkan berzikirnya apa yang ada di langit dan di bumi sebagai pelajaran bagi manusia untuk selalu berzikir kepada Allah SWT. Dan sebaik-baik zikir adalah mendirikan shalat 5 waktu. “Sesungguhnya sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar . Dan ketahuilah mengingat Allah dengan sholat itu lebih besar keutamaannya dari ibadah yang lain” (QS Al-Ankabut:45).


Dengan berzikir kepada Allah SWT, hati akan menjadi tenang, sebagaimana firman-Nya dalam surah Ar-Ra’d:28, “Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah lah hati menjadi tenteram.”
Jadi, puncak kebahagiaan seorang muslim adalah saat dirinya dekat dengan Allah SWT, Yang Maha Raja, Maha Suci dan Maha Bijaksana. Kebahagiaan itu bukan diukur dengan banyaknya harta atau besarnya kekuasaan yang dimiliki seseorang.


Jika demikian, maka Qarun dan Fir’aun merupakan manusia yang berbahagia tetapi justru sebaliknya. Dan Allah SWT mengancam orang-orang yang berpaling dari peringatan Allah dalam firmannya, “Dan barangsiapa berpaling dari peringatanku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan kami akan menghimpunnya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS Thaaha:124)


Pengabdian seorang manusia kepada Allah SWT adalah pengisian hidup dengan semua kebaikan yang dirumuskan oleh Sang Pencipta sebagaimana yang tertuang dalam ajaran Islam. Kesadaran inilah yang dapat memperkuat semangat dan membunuh penyakit kebosanan dan kejenuhan yang sering menjamur dalam jiwa manusia.


Selanjutnya Allah SWT mengutus Rasulullah SAW dengan tujuan untuk membacakan ayat-ayat Allah dan membersihkan jiwa dan nurani ummat. Pembersihan amal dan akhlak kita, kehidupan keluarga atau rumah tangga kita, kehidupan bermasyarakat, sehingga hati, jiwa maupun nurani seorang muslim itu bersih dari aqidah-aqidah syirik menuju kepada aqidah yang benar yang hanya menyembah kepada Allah SWT.


Sehingga Al-Quran diturunkan tidak hanya sekedar dibaca ataupun dijadikan hiasan rumah seorang muslim atau mahar saat pernikahan saja akan tetapi sebagai kitab yang mengajar seorang muslim untuk hanya menyembah kepada Allah SWT dan mengisi kehidupannya di dunia dengan kebaikan hingga menghadap Allah SWT. Dalam firmanNya, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepadaNya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan muslim.” (QS Ali- Imran:102)

Wallahu a’lam bishowab

[+/-] Selengkapnya...

Pewarnaan dan Perubahan

Telah cukup panjang pembahasan kita tentang syahadat, dan telah kita bahas dalam beberapa edisi. Pembahasan yang begitu panjang ini akan membawa kita pada sebuah pemahaman penting tentang sebuah ucapan dari kalimat yang begitu agung yang sering kita dengar di telinga kita, bahkan membangunkan kita pada saat waktu subuh menjelang.

Dua kalimat syahadat merupakan keyakinan yang tertanam di lubuk hati setiap muslim. Ia terdiri dari dua bagian yaitu pengakuan bahwa tiada ilah (tuhan) yang berhak disembah selain Allah SWT dan pengakuan bahwa Muhammad adalah Rasulullah. Iman bukan merupakan angan-angan tetapi menuntut perbuatan yang mencerminkan nilai-nilai iman tersebut. Nilai iman adalah nilai kalimat syahadatain yang mesti tegak dan diamalkan secara baik dalam kehidupan.

Nilai kalimat syahadat ini dapat tereralisasi jika seseorang memiliki interaksi yang kuat dengan Al-Quran, kedekatan dengan Al-Quran mendorong seseorang untuk tidak sekedar membaca, namun menjadikan tuntunan Al-Quran adalah pedoman hidupannya.

Maka ketika naungan Al-Quran bersamanya, ia akan mendapat kebahagiaan sesungguhnya di dunia dan akherat. Itulah yang di maksud dengan pewarnaan, hidupnya terwarnai dengan warna ilahi, dan warna ilahi itu akan ia dapatkan ketika ia mau mewarnai hidupnya dengan warna Al-Quran. Allah berfirman: “Shibghah (celupan) Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya (celupannya) daripada Allah? Dan hanya kepada-Nya lah kami menyembah”. (QS 2:138)

Bagian kedua dari syahadatain adalah Pengakuan Bahwa Muhammad Rasululllah ini adalah merupakan penerimaan secara ikhlas dan senang hati bahwa Muhammad SAW sebagai utusan Allah SWT.

Dengan penerimaan ini muncul kesediaan untuk menjadikan Rasulullah SAW sebagai teladan. Menjadikan sunahnya sebagai landasan kedua setelah Al-Quran. Ketika seorang telah menjadikan dua kalimat syahadat ini sebagai titik tolak perubahan dalam hidupnya, maka secara bersamaan ia akan menjadikan Al-Quran dan As-Sunah sebagai pedoman hidupnya.

Dengan keimanan yang benar maka perilaku dan kehidupan mukmin diwarnai oleh Allah SWT. Fenomenanya adalah berubahnya seluruh aktifitas hidupnya menjadi ibadah kepada Allah SWT.
Makna atas pemahaman syahadat yang telah masuk ke dalam diri seorang mukmin dan mewarnai hidupnya akan melahirkan perubahan yang menyeluruh pada diri dan hidupnya. Perubahan itu mencakup perubahan keyakinan, pemikiran, perasaan dan tingkah laku.

Pertama, Al-Inqilabul Al-I’tiqaadi (Perubahan Keyakinan)
Sebelum melafazkan syahadat dan memahaminya mungkin seorang berkeyakinan bahwa loyalitas dan ketaatan dapat diberikan kepada tanah air, bangsa, masyarakat, seni, ilmu dan sebagainya, di samping mengabdi kepada Allah SWT. Tetapi setelah bersyahadat ia melepaskan semua itu dan hanya menjadikan Allah SWT sebagai satu-satunya yang disembah, ditaati dan dimintai pertolongan di atas segalanya.

Kedua: Al-Inqilab Al-Fikri (Perubahan Pemikiran)
Sebelum meyakini syahadatnya mungkin ia berfikir boleh menerima syariat, aturan hidup dan perundang-undangan bersumber kepada adat istiadat datuk atau nenek moyang, pemikiran jahiliyah dari ilmuwan dan filosof, hawa nafsu penguasa dan sebagainya. Setelah memahami dengan benar kandungan dari makna syahadatain maka ia hanya mengikuti pola fakir Islam yang bersumber dari Allah SWT dan RasulNya, kemudian hasil ijtihad orang-orang mukmin yang sesuai dengan bimbingan Allah SWT dan Rasul.

Ketiga: Al-Inqilab Asy-Syu’uri (Perubahan Perasaan)
Sebelum memahami syahadatain ini mungkin perasaannya yang berupa cinta, takut, benci, marah, sedih atau senang ditentukan oleh situasi dan kondisi yang menimpa dirinya atau keadaan di sekelilingnya. Misalnya, ia senang mendapat keuntungan dari hasil usahanya, mendapat baju yang paling trendy, mendapat profesi yang menguntungkan. Sedih karena hilangnya kekayaan, merasa hina karena kemiskinan dan sebagainya.

Maka setelah menghayati makna syahadatain, tiada yang menyenangkan dan menyedihkan melainkan semua terkait dengan ketentuan dan takdir Allah SWT. Maka ia sedih bila ada yang masuk ke dalam kekufuran, sedih bila ada muslim yang disakiti, sedih memikirkan nasib kaum muslimin yang terzholimi oleh orang kafir dan zionis. Dan sebaliknya, ia merasa senang dengan kemajuan dakwah, kebangkitan umat dan sebagainya.

Keempat: Al-Inqilab As-Suluuki (Perubahan Tingkah Laku)
Sebelum mengerti kandungan syahadatain, mungkin tingkah laku seseorang mengikuti hawa nafsunya, menuruti bagaimana kondisi lingkungan. Berpakaian, bersikap, bergaul, mengisi waktu dengan kebiasaan-kebiasaan jahilyah yang tidak ada tuntunannya dari Islam. Tetapi setelah mengerti syahadatain ini ia berubah. Tingkah lakunya mencerminkan akhlak Islam, pergaulannya mengikuti syariah, waktunya diisi dengan hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya maupun orang lain.

Dengan adanya perubahan pada empat hal di atas maka seseorang akan memiliki kepribadian yang Islami. Pribadi ini mendasarkan keyakinan, bentuk berfikir, emosi, sikap, pandangan, tingkah laku, pergaulan dan masalah apa saja dengan dasar Islam. Akhlak pribadi yang Islami terdapat dalam diri Rasulullah. Nabi SAW memiliki akhlak yang disenangi oleh musuh atau kawan, justru dengan akhlak Nabi ini dapat menarik manusia kafir untuk mengikuti Islam.

Tatkala seorang muslim telah memiliki kepribadian Islami yang utuh, maka ia akan memiliki nilai di sisi Allah SWT. Pribadi-pribadi ini dalam jumlah yang banyak bergabung menjadi umat. Bila umat Islam telah memiliki banyak pribadi seperti ini ia akan diperhitungkan oleh lawan-lawannya. Umat seperti ini mampu membawa amanah dan menjalankan perannya sebagai pembawa kemakmuran dan kesejahteraan bagi semesta alam.

Wallahu a’lam bisshowab

[+/-] Selengkapnya...

Sang Pembawa Gandum

Zainal Abidin bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Tholib adalah seorang yang sangat dermawan dan peduli terhadap para fakir miskin.

Ketika ada orang yang mengetuk pintu rumahnya, ia akan menemui orang tersebut dengan sangat senang.

Beliau selalu memikul roti dan gandum untuk dibagikan pada penduduk Madinah di kegelapan malam. Dan itu beliau lakukan lebih dari seratus rumah dari rumah orang-orang miskin.

Sedangkan penduduk Madinah tidak mengetahui siapakah yang mengantarkan gandum dan roti itu di depan rumah mereka pada waktu malam.

Ketika beliau wafat, terhentilah pemberian gandum dan roti ini kepada penduduk Madinah. Tatkalah beliau dimandikan, didapati bekas hitam di pundak beliau. Sehingga barulah mereka mengetahui siapa sebenarnya pembawa gandum tersebut.

Sumber : Kitab 300 Mauqif Fii Az-Zuhd war Raqoiq halaman 82, 86




[+/-] Selengkapnya...

Rahasia Terkabulnya Doa

Diceritakan bahwa suatu ketika kota madinah mengalami kekeringan dan hujan sudah lama tidak turun.

Maka tatkala penduduk Madinah berdoa minta agar hujan diturunkan, datang seseorang lalu sholat dua rakaat, kemudian menengadakan tangannya ke langit dan berdoa. Belum lagi ia menyelesaikan doanya kemudian langit menjadi mendung dan hujan turun dengan derasnya.

Penduduk Madinah berteriak karena takut terjadi banjir. Lalu orang tersebut berdoa, “Ya Allah sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa mereka telah cukup, maka hentikanlah hujan ini.” Seketika itu juga hujan berhenti.

Maka ketika orang itu pergi, ada seseorang yang mengikutinya sampai kerumahnya. Lalu orang itu berkata kepadanya: “Aku datang kepadamu karena ada suatu keperluan”. Orang itu menjawab “Apa itu?”. “Aku melihatmu berdoa, dan doamu didengar Allah. Apa rahasianya?”

Orang itu menjawab: “Aku hanya mentaati Allah atas apa yang ia perintah dan Ia larang kepadaku, maka aku memohon pada-Nya dan Ia mengabulkan permohonanku.”




[+/-] Selengkapnya...

Sandal Bilal bin Rabah

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW berkata kepada Bilal pada waktu shalat shubuh, “Wahai Bilal, ceritakan kepadaku tentang amalan dalam Islam yang memberi manfaat kepadamu, karena sesungguhnya tadi malam aku mendengar suara sandalmu di syurga.”

Lalu Bilal berkata, “Aku tidak melakukan amalan apa-apa dalam Islam yang dapat memberi manfaat kepadaku, kecuali tidaklah aku bersuci dengan wudhu yang sempurna pada waktu malam ataupun siang kecuali aku melaksanakan shalat dengan wudhu tersebut.” (HR Muslim)

Sumber: Kitab 300 Mauqif fi az-Zuhd war Roqoiq, hal 83

[+/-] Selengkapnya...

Rumah Salman Al-Farisi

Salman Al-Farisi berkeinginan membangun sebuah rumah. Maka ia bertanya kepada tukang bangunan, “Bagaimana engkau akan membuatkan rumah untukku ?”.

Tukang bangunan itu adalah orang yang cerdas dan mengetahui kezuhudan Salman, lalu ia menjawab:

“Jangan khawatir! Rumah ini akan melindungimu dari panas dan kau dapat tinggal di dalamnya tanpa kedinginan. Apabila kau berdiri, maka kepalamu akan menyentuh atapnya. Dan apabila kau berbaring, kakimu akan menyentuh dindingnya.”

Lalu Salman berkata, “Ya. Maka buatkanlah aku rumah seperti itu.”

Sumber: Kitab 300 Mauqif fi az-Zuhd war Roqoiq, hal 78


[+/-] Selengkapnya...

Kejujuran Seorang kholifah

Ketika Khalifah Umar bin Khattab berkeliling pada suatu malam di jalan-jalan kota Madinah untuk mengetahui keadaan masyarakatnya, ia duduk bersandar pada sebuah dinding rumah karena lelah. Maka tatkala itu ia mendengar suara seorang wanita kepada anaknya, "Bangunlah wahai putriku, ambillah susu itu lalu campurlah dengan air".

Maka Umar diam dan mendengarkan dengan seksama apa yang akan dijawab oleh anak perempuan itu pada ibunya,
"Wahai ibuku apakah engkau mendengar apa yang dikatakan Khalifah Umar pada hari ini?"

Ibunya berkata: "Apa itu wahai anakku?"

Anaknya menjawab: "Khalifah Umar berkata agar tidak seorangpun yang mencampur susu dengan air".

Sang Ibu berkata: "Wahai anakkku, bangkitlah.. lalu isislah susu itu dengan air, sesungguhnya engkau ditempat yang tidak ada umar".

Putrinya menjawab: "Wahai ibuku, demi Allah aku tidaklah mentaatinya di depannyaa saja, lalu melanggar di belakangnya"


Ketika itu Umar bersama seorang bernama Aslam. Maka pada pagi harinya Umar menyuruh Aslam untuk pergi ke rumah tersebut, dan melihat sipa perempuan itu, dengan siapa ia tinggal. Maka tatkala Aslam kembali kepada Umar ia berkata; "Perempuan itu hanya tinggal bersama ibunya dan ia tidak memiliki suami."

Lalu Kholifah Umar melamar perempuan itu untuk anaknya 'Ashim, ia adalah sebaik-baik perempuan yang terkumpul pada dirinya, amanah, akhlak mulia dan agama. Maka ia menikah dengan Ashim bin Umar, maka lahirlah dari anak Ashim nantinya (Cucu Ashim) seorang khalifah yang adil Umar bin Abdul Azis.

Sumber : Kitab 300 Mauqif fii Az-Zuhd wa Ar-Roqoiq, hal 37


[+/-] Selengkapnya...

Syarat Diterimanya Syahadat

Sebagai seorang mukmin yang telah mengucapkan syahadat dan memahaminya hendaklah berusaha menjaga syahadat yang ia yakini itu dari penyakit futur atau kendor dan lemahnya keimanan. Untuk itu seorang muslim perlu mengetahui bagaimana syahadat yang ia ucapkan itu diterima atau ditolak. Untuk diterimanya syahadat maka diperlukan beberapa persediaan yaitu berupa ilmu, yakin, ikhlas, shidqu atau kebenaran, mahabbah atau kecintaan, qabul atau penerimaan dan amal nyata. Juga kita perlu menolak beberapa hal berikut, yaitu berupa kebodohan terhadap syahadat, keraguan, kemusyrikan, dusta, kebencian, penolakan dan tidak beramal. Berikut akan kami jelaskan satu persatu :

A. Al-'Ilm Al-Munaafii Lil-Jahl (Ilmu yang menolak kebodohan)

Seorang yang bersyahadat mesti memiliki pengetahuan tentang syahadatnya. Apa yang melandasainya sehingga bersyahadat, ia memiliki ilmu dan pemahaman dengan syahadat, sehingga ketika mengikrarkan syahadat ia memahami arti dua kalimat ini serta bersedia menerima hasil ucapannya.

Orang yang bodoh tentang makna dua kalimat syahadat tidak mungkin dapat mengamalkannya. Manusia berkewajiban mempelajari laa ilaaha illa Allah, karena kunci mendapat rahmat dari Allah dan mendapatkan banyak kebaikan. Mereka yang bersyahadat adalah Allah SWT, malaikat, dan orang-orang yang berilmu (para nabi dan orang beriman). Sebagaimana Allah menjelaskannya di dalam Al-Quran: "Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah dan mohonlah ampun bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu. (QS 47:19)

B. Al-Yaqiin Al-Munaafii Lisy-Syak (Yakin yang Menolak Keraguan)

Seorang yang bersyahadat mesti meyakini ucapannya sebagai suatu yang diimaninya dengan sepenuh hati tanpa keraguan. Keyakinan akan membawa seseorang pada keistiqamahan, manakala ragu-ragu akan menimbulkan kemunafiqan. Iman yang benar ia tidak bercampur dengan keraguan. Karena mereka meyakina sepenuhnya ke-esahan Allah, janjinya yang akan mereka dapatkan dari Allah jika mereka melaksanakan tuntutan syahadat itu. Mereka tidak ragu untuk mengorbankan semua harta dan jiwanya untuk kepentingan perjuangan Islam. Dan di antara ciri mukmin adalah tidak ragu dengan Kitabullah dan yakin terhadap Hari Akhir.

Di dalam Al Quran dijelaskan : "Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar. (QS 49:15)

Dalam sebuah hadist Dari Abu Hurairah ra Rasulullah SAW bersabda, "Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Tidak ada seorang hamba yang bertemu dengan Allah dengan dua kalimat ini dan ia tidak ragu tentang kedua-duanya, kecuali ia masuk surga." (HR Muslim).

C. Al-Ikhlaash Al-Munaafii Lisy-Syirk (Ikhlas yang Menolak Kemusyrikan)

Ucapan syahadat mesti diiringi niat yang ikhlas lillahi ta'ala. Ucapan syahadat yang bercampur dengan riya' atau kecenderungan tertentu tidak akan diterima Allah SWT. Ikhlas dalam bersyahadat merupakan dasar yang paling kukuh dalam pelaksanaan syahadat. Perbuatan apapun yang mengandung kemusyrikan akan menghapus amal. Oleh karena itu amat merugi bagi manusia yang beramal tapi tidak ikhlas sehingga amalnya menjadi sia-sia tanpa makna. Ibadah yang tidak ikhlas tidak diterima oleh Allah SWT. Tidak ikhlas berarti juga menjadikan tandingan-tandingan selain Allah sebagai tuhannya. Allah berfirman : "Katakanlah: Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Maha Esa." Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya." (QS 18:110)

Dalam hadits Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi SAW bersabda, "Orang yang paling berbahagia dengan syafaatku adalah orang yang mengucapkan Laa Ilaaha Illa Allah secara tulus ikhlas dari hatinya, atau dari jiwanya."

D. Ash-Shidq Al-Munaafii Lil-Kadzib (Kebenaran yang Menolak Kedustaan)

Dalam pernyataan syahadat, seorang muslim wajib membenarkannya tanpa dicampuri sedikitpun dusta dan kebohongan. Pembenaran atas syahadat adalah landasan keimanan, sedangkan dusta adalah landasan kekufuran. Sikap sidik akan menimbulkan ketaatan dan amanah. Sedangkan dusta menimbulkan kemaksiatan dan pengkhianatan. Kebenaran yang diamalkan seseorang akan mempengaruhi tingkah laku dan pemikirannya. Mereka bertingkah laku dan berfikir dengan benar apabila bersikap sidiq.

Orang yang benar akan terbukti dalam medan jihad dan Allah SWT membalas mereka, sedangkan orang-orang munafik tidak saja mendustakan manusia tetapi juga berani berdusta kepada Allah. Kebenaran dan kemunafikan diuji melalui cobaan. Cobaan akan menjadi seleksi bagi seseorang. Sejarah menunjukkan bahwa cobaan merupakan cara untuk mengetahui siapa yang betul-betul berjuang di jalan Allah atau tidak sungguh-sungguh berjuang. Allah berfirman : "Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian", padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Alla penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih; disebabkan mereka berdusta. (QS 2:8-10)

E. Al-Mahabbah Al-Munaafiyah Lil-Bughdh Wa Al-Karaahah (Cinta yang Menolak Kebencian)

Dalam menyatakan syahadat ia mendasarkan pernyataannya dengan cinta. Cinta ialah rasa suka yang melapangkan dada. Ia merupakan ruh dari ibadah. Sedangkan syahadatain merupakan ibadah yang paling utama. Dengan rasa cinta ini segala beban akan terasa ringan, tuntutan syahadatain akan dapat dilaksanakan dengan mudah. Cinta kepada Allah SWT yang teramat sangat merupakan sifat utama orang beriman. Mereka juga membenci apa saja yang dibenci oleh Allah SWT. Seorang mukmin akan selalu mendahulukan kecintaan kepada Allah SWT, Rasul dan jihad dari kecintaan terhadap yang lain.

Allah berfirman : Katakanlah: "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatir kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik. (QS 9:24)

Dalam sebah hadits, Rosulullah bersabda: "Tiga hal, barangsiapa dalam dirinya ada ketiganya, maka ia mendapatkan manisnya iman. Bila Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya, bila seseorang mencintai orang lain dan ia tidak mencintainya kecuali karena Allah, dan apabila ia tidak ingin kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkan dirinya dari kekufuran itu sebagaimana ia tidak ingin dijebloskan ke dalam neraka." (HR Bukhari)

F. Al-Qabuul Al-Munaafii Lir-Rad (Menerima yang Jauh dari Penolakan)

Seorang muslim secara mutlak menerima nilai-nilai serta kandungan isi syahadatain. Tidak ada keberatan dan tanpa rasa terpaksa sedikitpun. Baginya tidak ada pilihan lain kecuali Kitabullah dan sunah Rasul. Ia senantiasa siap untuk mendengar, tunduk, patuh dan taat terhadap perintah Allah SWT dan Rasul-Nya. Mukmin adalah mereka yang bertahkim (berhukum) kepada Allah dan Rasul-Nya dalam seluruh persoalannya, kemudian ia menerima secara total keputusan Rasul, tanpa ragu-ragu dan keberatan sedikitpun. Ciri orang beriman ialah menerima, mendengar dan taat terhadap Allah SWT dan Rasul-Nya dalam seluruh masalah hidup mereka. Sebagaimana Allah berfirman : Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan, "Kami mendengar dan kami patuh." Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS 24:51)

G. Al-Inqiyaad Al-Munaafii Lil-Imtina' Wa At-Tark Wa 'Adama Al-'Amal (Pelaksanaan yang Jauh dari Sikap Statik atau Diam)

Syahadatain hanya dapat dilaksanakan apabila diwujudkan dalam amal yang nyata. Maka muslim yang bersyahadat selalu siap melaksanakan ajaran Islam yang menjadi aplikasi syahadatain. Ia menentukan agar hukum dan undang-undang Allah SWT berlaku pada diri, keluarga maupun masyarakatnya. Perintah Allah SWT untuk bekerja di jalan-Nya dengan perhitungan nilai kerja itu di sisi Allah SWT. Orang yang bekerja akan mendapat kehidupan yang baik dan mendapat balasan surga Allah SWT.

Allah berfirman :"Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan. (QS 16:9)



[+/-] Selengkapnya...

Husnul Khotimah Pembaca Al-Quran

Ada seorang shalih yang biasa membaca Al-Quran 10 juz. Suatu hari, dia membaca surah Yasin. Maka tatkala sampai pada ayat 24; Innii idzan lafii dhalaalin mubiin (sesungguhnya aku berada dalam kesesatan yang nyata), tiba-tiba ia meninggal dunia. Maka teman-temannya yang menyaksikan merasa heran dengan kejadian itu. Mereka pun berkata, "Sesungguhnya orang ini adalah orang yang shaleh. Bagaimana mungkin dia menyelesaikan Al-Quran dengan ayat ini?"

Setelah orang itu dikuburkan, seorang kawannya yang juga shaleh bermimpi tentang pembaca Al-Quran yang shaleh itu. Lalu ia berkata, "Wahai fulan, sesungguhnya engkau meng-khatam Quran dengan membaca ayat Innii idzan lafii dhalaalin mubiin. Bagaimana keadaanmu di sisi Allah di sana?"


Lalu orang itu menjawab, "Ketika kalian menguburkanku dan meninggalkanku, maka datang kepadaku dua malaikat dan bertanya, Siapa Tuhanmu? Aku pun menyempurnakan bacaan ayat selanjutnya Innii amantu birabbikum fasma'uun (Sesungguhnya aku beriman pada Tuhan kalian, maka dengarkanlah). Lalu dikatakan padaku, Qiila dkhulil jannah (dikatakan, masuklah ke dalam surga). Aku pun berkata, Qaala Ya laita qaumy ya'lamuun, bima ghafara lii Robbii wa ja'alany minal mukramin (Ia berkata; seandainya kaumku mengetahui terhadap ampunan Tuhan buatku dan menjadikanku orang-orang yang dimuliakan-Yaasin: 26-27)

(Sumber Al-Mujtama’ 7-13 Rabiul awal 1429 H)



[+/-] Selengkapnya...

Perkataan Hikmah

Ibnu Abbas ra berkata : “ Aku tidak pernah menyesal atas sesuatu melebihi penyesalanku terhadap hari yang terbenam mataharinya namun tidak bertambah amalanku”.

Imam Hasan Al-Bashri berkata : “Tidaklah berlalu satu hari dari anak Adam kecuali berkata kepadanya hari itu: Wahai anak Adam, sesungguhnya aku adalah hari yang baru, dan atas perbuatanmu aku menyaksikan. Dan jika aku telah pergi darimu, maka aku tidak akan kembali lagi padamu. Maka berikanlah apa yang hendak kau berikan. Maka kau akan dapatkan itu di depanmu. Dan akhirkanlah apa yang kau kehendaki. Maka sekali-kali ia tidak akan kembali kepadamu selamanya."


Imam Ibnul Qoyyim berkata : “ Sesungguhnya hati itu seperti pesawat, jika ia tinggi ia akan selamat dari bahaya, ketika menurun dan rendah ia kena bencana. “


Imam Ibnu Al-Jauzi berkata : “ Wahai pengharap surga! Dengan satu dosa bapakmu Adam as dekeluarkan dari surga, apakah engkau mengharapkan masuk ke dalamnya dengan dosa-dosa yang engkau belum bertobat darinya.”

Sumber : Kitan Alfu Qoulin Fi Zuhd wa Roqoid




[+/-] Selengkapnya...

Antara Niat Sang Abid dan Sang Ashi

Dikisahkan, ada dua orang bersaudara. Satu diantaranya ahli ibadah, dan yang satu lagi ahli maksiat. Mereka tinggal di sebuah flat . Sang ‘abid tinggal di lantai atas dan saudaranya yang suka bermaksiat tinggal di lantai bawah.

Suatu ketika, terbetik dalam hati sang ahli ibadah untuk mengikuti bisikan hawa nafsunya, ia berkata: “Sesungguhnya Allah Maha Pengampun. Kalau sekiranya aku turun ke rumah saudaraku, mungkin aku bisa sedikit bersenang-senang bersamanya. Dan aku bisa bertaubat setelah itu.” Lalu dia menuruni tangga menuju rumah saudaranya.

Sementara itu, sang ahli maksiat terbetik dalam hatinya, ia berkata: “Aku telah menghabiskan umurku dalam kemaksiatan. Dan saudaraku yang ahli ibadah akan masuk surga dan aku akan masuk neraka. Demi Allah, aku akan bertaubat. Aku akan naik menemui saudaraku di rumahnya. Mungkin aku bisa beribadah bersamanya dalam sisa umurku. Mudah-mudahan Allah mengampuni dosaku.” Lalu dia pun menuju tangga untuk naik ke rumah saudaranya.

Tiba-tiba sang ahli ibadah yang menuruni tangga terpeleset dan jatuh menimpa sang ahli maksiat yang sedang menaiki tangga. Kemudian keduanya meninggal seketika itu juga. (Semoga Allah selalu menetapkan hati kita dalam ketaatan)

Sumber : Kitab 300 Mauqif fii Az-Zuhd wa Ar-Roqoiq, Abdu Rahman Hal 68

[+/-] Selengkapnya...

Melaksanakan Arti dari Kalimat Syahadat

Dalam kehidupan ini, seseorang tidak bisa bebas hidup begitu saja, sesuka hati dengan menuruti keinginannya. Namun hidup ini memiliki aturan yang telah ditentukan oleh yang mengatur kehidupan, Ia adalah Allah SWT. Maka dalam menjalani hidup ini, seseorang tidak pernah lepas dari hubungannya dengan Allah, itulah hubungan ubudiyah atau pengabdian. Dengan sangat jelas Allah mengatakan dalam surat Adz-Dzariyat ayat 56: “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku”.

Hubungan ini didasari kepada tiga unsur penting, yaitu cinta, perniagaan dan amal. Dengan ketiga unsur di atas, setiap muslim menjalani hidupnya. Dengan syahadatain yang diyakininya, seseorang mesti mengamalkan syahadat di dalam kehidupan sehari-hari.


Unsur Pertama yang mesti dimiliki oleh seorang muslim dalam pengabdiannya kepada Allah adalah ia memiliki rasa cinta yang sangat tinggi kepada Allah. Kecintaan seorang muslim kepada Allah SWT harus berada di atas kecintaan kepada siapapun dan suatu apapun. Mendahulukan Allah di atas yang lainnya adalah sebuah perealisasian dari pemahaman terhadap syahadat yang benar. Ketika ada perintah dari-Nya, maka sebagai seorang muslim akan melaksanaakannya dengan penuh keridhoan. Begitu juga sebaliknya, ketika mendapati larangan Allah, dirinya segera menjauhinya dengan penuh ketundukan.


Al-Quran menggambarkan kecintaan seorang mukmin dalam firmannya: “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cinta kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (QS 2:165)


Ada unsur lain yang Allah tawarkan kepada orang mukmin dalam pengabdiannya kepada Allah, yaitu berupa perniagaan yang menjanjikan keuntungan yang tak ternilai bagi orang beriman. Karena pada hakikatnya semua manusia itu miskin dan faqir, tidak memiliki sesuatupun termasuk dirinya sendiri. Semua yang ada hanyalah milik Allah SWT. Tetapi dalam perjanjian ini Allah SWT menawarkan kepada mukmin untuk menjual dan mengorbankan apa-apa yang bukan menjadi miliknya itu kepada Allah SWT.


Penawaran Allah SWT untuk berjual beli kepada orang mukmin baik harta atau jiwanya dengan surga yang dimiliki Allah merupakan suatu keuntungan besar yang dapat membawa kebebasan dari neraka. Sebagaimana Allah menjelaskan hal tersebut di dalam Al-Quran: “Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya.” (QS 61:10-11)


Dalam firman yang lain Allah menggambarkan : “Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat.” (QS 2:265)


Dalam ayat tersebut disebutkan bahwa orang mukmin adalah sebagai penjual, yang dijualnya adalah harta yang dimilikinya, yaitu semua simbol yang melekat pada dirinya dan yang dianggap sebagai miliknya. Seperti harta, kekayaan, kedudukan, kerjanya, pengaruh dan sebagainya. Dan berupa jiwa yang meliputi nyawanya, tenaganya, waktu dan kesempatannya, perasaannya dan lain-lain.


Dalam hal ini Allah SWT sebagai pembeli tunggal yang akan memberikan dua keuntungan yang sangat besar bagi penjual tersebut, yaitu surga dan segala kenikmatannya sebagai pengganti harta yang diberikan Allah. “Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu dan itulah kemenangan yang besar”. (QS 9 : 111) Hanya orang beriman saja yang bersedia menjual harta dan jiwanya untuk berkorban dan berjuang di jalan Allah SWT.


Orang yang berimanlah yang rela menjual harta, nyawa dan tenaga untuk kepentingan tegaknya Islam di muka bumi ini. Walaupun demikian yang dituju dengan penjualan ini adalah keridhaan Allah SWT sebagai harta tertinggi.


Unsur ketiga dalam pengabdian kepada Allah adalah dengan senantiasa melakukan amal, memberikan apa yang dapat ia lakukan buat agama Allah dan kemuliaan islam. “Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS 9:105)


Dengan pelaksanaan cinta, perniagaan dan amal di atas, seorang mukmin menjalani hidupnya. Karena hidup adalah pengabdian. Maka setiap nilai hidupnya adalah ibadah. Ia senantiasa memohon ampunan dari dosa dan menghindarkan diri dari sebab-sebab kemaksiatan. Selalu mengabdikan diri kepada Allah SWT dalam keadaan lapang maupun sempit dengan pengabdian yang ikhlas. Mengagungkan Allah SWT dalam berbagai kesempatan. Senantiasa rukuk dan sujud kepada Allah. Selalu memelihara hukum Allah SWT, yaitu pelaksanaan kitabullah (Al-Quran) pada dirinya dan memperjuangkan ajarannya agar terlaksana di masyarakatnya. Wallahu ‘alam bisshowab.


[+/-] Selengkapnya...

Wasiat Kepada Sang Pendidik

Suatu hari imam Syafi’i masuk ke kamar Khalifah Harun Ar-Rasyid untuk minta izin kepadanya. Dan Shiraj ikut bersamanya. Lalu dia duduk di sisi Abu Abdus Shomad sang pendidik anak-anak Kholifah Harun Al-Rosyid. Shiraj pun berkata kepada Imam Syafi’i, “Wahai Abu Abdullah, mereka ini adalah anak-anak Amirul mukminin, dan ia Abu Abdus Shomad adalah pendidik mereka. Kalau sekiranya engkau berkenan memberikan nasehat kepada mereka.

Imam Syafií lalu berkata kepada Abu Abdus Shomad :


“Hendaklah satu hal yang pertama dimulai dalam mendidik anak-anak Amirul Mukminin adalah memperbaiki dirimu. Maka mata-mata mereka bergantung pada matamu. Dan kebaikan mereka adalah kebaikan apa yang kau lakukan. Keburukan bagi mereka adalah sesuatu yang kau benci.

Ajarkanlah mereka kitabullah, janganlah engkau memaksakan mereka sehingga mereka bosan. Dan jangalah kau meninggalkan mereka dari Al-Quran lalu mereka akan meninggalkannya. Kemudian ceritakan kepada mereka dari hadits-hadits yang mulia dan pepatah nasehat. Dan janganlah kau keluarkan mereka dari suatu ilmu kepada ilmu yang lain sehingga mereka memahaminya. Maka sesungguhnya perkataan yang bertumpuk-tumpuk dalam pendengaran akan menyusahkan pemahaman”.

Sumber : Kitab Tsalatsu Miah Mauqif Fii Az-Zuhd wa r-Roqoiq, Abdul Rahman Bakr. Hal 70

[+/-] Selengkapnya...

Memperbaiki Hubungan Dengan Allah

Oleh Arju Ridhollah

” Barangsiapa memperbaiki hubungannya dengan Allah, maka Allah akan menyempurnakan hubungan-Nya dengan orang tersebut.”(HR. Hakim)

Rasulullah SAW dan para sahabat dahulu menganggap shalat sebagai terminal istirahat. Saat jiwa terasa letih oleh beban perjuangan dan saat tubuh penat oleh berbagai ujian hidup, generasi terbaik itu mendirikan shalat untuk melepas lelah. Rasulullah meminta Bilal untuk mengumandangkan azan dengan mengatakan, “Wahai Bilal tentramkanlah hati kami dengan shalat…” (HR. Daruquthni)

Shalat memang suplier ruhani dan pemompa mentaal. Tanpa shalat, jiwa manusia mungkin saja tak mampu menanggung beban dalam menjalani hidup. Bagi orang yang kerap mengalami penderitaan, shalatlah yang menjadi tempat menumpahkan segala permasalahan, menjadi kesempatan mengadu dan waktu mencurahkan harapan. Bagi seorang pejuang, seorang juru dakwah, shalat juga yang menjadikannya kuat memikul semua masalah dan tantangan yang menghadangnya.

Bersyukurlah kita, Allah SWT mewajibkan shalat lima waktu sehari. Dalam lima kesempatan itu artinya, kita memperoleh masukan energy baru. Semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang merasakan nikmatnya shalat.

Mungkin kita pernah mendengar Rasulullah bersabda, “Berapa banyak orang yang menegakkan shalat hanya memperoleh letih dan payah” ( HR Nasa’i ). Shalat yang digambarkan Rasul dalam hadits tersebut, bukan hanya shalat yang bias menjadi penyegar bagi jiwa. Shalat yang hanya bersifat ritual dan tidak memberikan kenikmatan bagi pelakunya. Shalat yang hanya gerakan fisik yang senyap dari kedamaian batin.

Salah satu syarat yang dapat memberi pencerahan batin,biasa disebut dengan khusyu’. Khusyu’ menurut Imam Ghazali adalah hudhurul qalbi kehadiran hati, konsentrasi, rasa tunduk, pasrah dan penghormatanyang tinggi kepada Allah SWT.

Amirul mukminin Umar ra mengatakan, “ Khusyu’ itu bukan menundukkan kepala, tapi khusyu’ itu ada di dalam hati.” Al Qur’an menyebutkan khusyu’ itu adalah tanda pertama orang-orang yang beruntung. “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu oran-orang yang khusyu’ dalam shalatnya.” (QS. Al Mukminun: 1-2)
Tidak sedikit orang yang sulit menghadirkan kekhusyukan dalam shalatnya. Kita begitu dan nyaris tidak percaya, bila sahabat Rasulullah Ali rejustru melaksanakan shalat untuk menghilangkan rasa sakit ketika mata panah akan dicabut dari tubuhnya.

Orang yang belum biasa bekerja berat, akan merasa sangat sulit bekerja mencangkul dan mengolah sawah. Tangannya mungkin akan lecet, kulitnya terbakar oleh terik matahari dan seluruh tubuhnya terasa linu, itu dalam konteks pekerjaan fisik. Keadaannya tidak jauh berbeda dengan konteks pekerjaan batin. Khusyu’ adalah pekerjaan batin, orang yang tidak terbiasa khusyu’, dekat, pasrah, tunduk pada Allah di luar shalat, akan sulit menghadirkan kekhusyukan di dalam shalat. Khusyu’ di dalam shalat sangat terkait dengan khusyu’ di luar shalat.
Kalau hati tidak pernah hidup, tidak ada link hubungan dengan Allah di luar shalat, tentu sulit menjalin hubungan yang baik hanya dalam shalat. Bagaimna kita merasakan nikmatnya bertani, mencangkul tanh, seperti yang dirasakan para petani, kalau kita sebelumnya jarang melakukan pekerjaan tersebut,? Begitu lebih kurang gambarannya, itulah rahasianya kenapa kita sulit khusyu’.

Khusyu’ kepada Allah tidak hanya dengan menyebut Subhanallah, Alhamdulillah atau Allahu Akbar. Khusyu’diwujudkan dengan hati yang senantiasa berhubungan denagn Allah, meskipun lidah tidak menyebut nama Allah.

Melihat ciptaan Allah, hati merasakan kebesaran Allah. Melihat peristiwa apapun semakin menyuburkan ingatan kepada Allah. Mendapat nikmat, hati mengatakan, “Syukur Allah tidak menjadikan aku menderita.” Hati tersentuh dan malubila melakukan ketidaktaatan. Bila ditimpa musibah, hati mengatakan, “Mungkin saya berdosa pada Allah.” Sikap0sikap seperti itulah yang semakin menambah kedekatan hatidengan Allah SWT. Itulah yang dimaksud dalam firman-Nya, “Mereka yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk dan berbarung.”
Itulah sebabnya para ahli ibadah mengatakan, aku merasa damai meskipun sendiri.” Kenapa? Karena mereka dalam kondisi terus berdzikir dengan melihat semua fenomena alam dan hatinya mengingat Allah Jalla Wa’ala.

Ibarat orang yang sayang dan rindu kepada kekasihnya, setiap barang kepunyaan kekasihterlihat di depan mata membuat hati ingat dan terkait dengan kekasih. Kalau sudah ada benih khusyu’ di luar shalat, maka saat berwudhu pun sudah khusyu’.

Seorang muslim harus berusaha menghidupakan kedekatan hatinya denagan Allah, kapan pun dan dimanapun. Tokoh ulama Mesir Hasan Al Banna menyifatkan karakter seorang mujahid adalah bukan orang yang tidur sepenuh kelopak matanya, dan tidak tertawa selebar mulutnya. Maksudnya itu menggambarkan suasana keseriusan dan kesungguhan orang yang berjuang di jalan Allah.

Apa rahasia di balik kesungguhan dan keseriusan itu? Dalam shalat mereka sangat membesarkan dan mengagungkan Allah. Di luar shalat mereka juga tetap membesarkan Allah, hidup sesuai syari’at, menjauhkan diri dari kemungkaran dan maksiat. Maka Allah akan menaungi mereka, sebab ada hubungan sangat erat antara shalat dan perilaku-perilaku sosial. Merekalah yang dimaksud dalam sabda Rasulullah, “Barangsiapa memperbaiki hubungannya dengan Allah, maka Allah akan menyempurnakan hubungan-Nya dengan orang tersebut.” ( HR. Hakim )


[+/-] Selengkapnya...

Sebaik-baik Perbekalan

Oleh: Ibnu Islam

Allah SWT dalam ayat ini mengabarkan kepada hamba-Nya bahwa perbekalan yang sebaik-baiknya adalah taqwa. Karena perbekalan taqwa adalah perbekalan yang kita bawa dalam kehidupan kita selanjutnya, yaitu akhirat.

Sebagaimana kita ketahui bahwa taqwa adalah mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Allah dan menjauhi apa-apa yang dilarangnya. Ketika Allah SWT berfirman watazawwadu fainna khaira zaadi taqwa. Firman Allah SWT ini memiliki makna tersirat bahwa manusia memiliki dua bentuk perjalanan, yakni perjalanan di dunia dan perjalanan dari dunia. Perjalanan di dunia memerlukan bekal, baik berbentuk makanan, minuman, harta, kendraaan dan sebagainya. Sementara perjalanan dari dunia juga memerlukan bekal.


Bekal itu mengenal Allah, mencintai Allah, berpaling dari selain Allah. Dan seluruh perbekalan itu terhimpun dalam kata taqwa. Perbekalan kedua yaitu perbekalan perjalanan dari dunia, lebih penting dari perbekalan dalam perjalanan pertama yakni perjalanan di dunia, karena beberapa hal.


Dalam Tafsir Ar-Raazi, disebutkan lima perbandingan antara keduanya:


1. Perbekalan dalam perjalanan di dunia,akan menyelamatkan kita dari penderitaan yang belum tentu terjadi. Tapi perbekalan untuk perjalanan dari dunia, akan menyelamatkan kita dari penderitaan yang pasti terjadi.


2. Perbekalan dalam perjalanan di dunia, setidaknya akan menyelamatkan kita dari kesulitan sementara,.tapi perbekalan untuk perjalanan dari dunia, akan menyelamatkan kita dari kesulitan yang tiada habisnya.


3. Perbekalan dalam perjalanan di dunia akan mengantarkan kita pada kenikmatan dan pada saat yang sama mungkin saja kita juga mengalami rasa sakit,keletihan dan kepayahan. Sementara perbekalan untuk perjalanan dari dunia, akan membuat kita terlepas dari marabahaya apapun dan terlindung dari kebinasaan yang sia-sia.


4. Perbekalan dalam perjalanan di dunia memiliki karakter bahwa kita akan melepaskan dan meninggalkan sesuatu dalam perjalanan. Sementara perbekalan untuk perjalanan dari dunia, memiliki karakter, kita akan lebih banyak menerima dan semakin lebih dekat dengan tujuan.


5. Perbekalan dalam perjalanan di dunia akan mengantarkan kita pada kepuasan syahwat dan hawa nafsu. Sementara perbekalan untuk perjalanan dari dunia akan semakin membawa kita pada kesucian dan kemuliaan karena itulah khairu zaadi taqwa. araazi 5/168

Oleh karena itu hendaklah seorang mukmin dan mukminah mempersiapkan perbekalan taqwa ini semoga Allah selalu membibing dan memberikan kekuatan kepada kita semua untuk mempersiapka bekal taqwa ini karena ia adalah sebaik-baik perbekalan.

Wallahu a’lam bisshowab.



[+/-] Selengkapnya...

Tawakkal Seorang Anak Kecil

Suatu hari, seorang kaya masuk masjid untuk shalat. Dan ia adalah termasuk orang-orang yang shaleh. Maka dia melihat seorang anak kecil yang umurnya tidak lebih dari 12 tahun berdiri shalat dengan khusyu'nya. Ia ruku' dan sujud dengan tenang dan tuma'ninah.

Dan ketika anak kecil tadi selesai melaksanakan shalatnya, orang kaya itu mendekatinya dan berkata: "Anak siapakah engkau?".


Anak kecil itu menjawab, "Aku yatim. Aku kehilangan ayah dan ibuku".


Orang itu berkata, "Apakah engkau mau menjadi anakku?".


Anak itu berkata, "Apakah engkau akan memberiku makan jika aku lapar?".


Orang itu menjawab, "Ya".


Anak itu berkata, "Dan engkau juga akan memberiku minum jika aku haus."


Orang itu menjawab, "Ya".


Dan anak kecil itu bertanya lagi, "Apakah engkau juga akan memberiku pakaian?".


Orang itu berkata, "Ya".


Anak kecil itu bertanya lagi, "Apakah engkau juga akan menghidupkan ku jika aku mati?"


Orang tadi menjawab, "Aku tidak mampu untuk itu."


Anak kecil itu berkata, "Maka tinggalkanlah aku kepada Ia Yang Menciptakan ku. Dia-lah yang memberiku makan dan minum. Dia-lah yang mematikanku dan menghidupkanku."


Lalu orang itu menjawab, "Ya, wahai anakku. Semoga Allah memberkahimu. Siapa yang bertawakkal kepada Allah, cukuplah Allah sebagai penolongnya."


Sumber : Kitab Tsalatsu miáh Mawaqif fii Az-Zuhd wa Ar-Roqoiq, Abdul Rahman. Hal 42


[+/-] Selengkapnya...

Rasa Takut Abdullah bin Mubarak

Dari Qassim bin Muhammad, dia berkata: "Kami sering sekali bepergian dengan Ibnu Mubarak dan tiba-tiba terbetik di hatiku, maka aku berkata dalam hati dengan apakah orang ini (Ibnu Mubarak) dilebihkan di atas kami sehingga ia terkenal di tengah-tengah manusia. Jika dia shalat, maka kami shalat. Jika dia puasa, maka kami puasa. Jika dia berjihad, kami juga berjihad. Jika dia melaksanakan haji, kami juga berhaji.

Maka suatu malam di tengah perjalanan kami menuju kota Syam, kami makan malam di sebuah rumah. Ketika lampu dipadamkan,
maka sebagian kami berdiri lalu mengambil lampu itu dan keluar menunaikan hajatnya. Maka keadaan begitu sunyi. Tatkala lampu itu datang lagi, maka aku melihat ke wajah Ibnu Mubarak dan jenggotnya sudah basah oleh airmata. Maka aku mengatakan pada diriku, Ternyata dengan rasa takut inilah orang ini dilebihkan di atas kami. Se]ertinya ketika di tengah kegelapan tatkala lampu itu dibawa, keadaan menjadi begitu gelap sehingga dia mengingat kegelapan pada hari kiamat."

Sumber : Kitab Tsalatsu miah mawaqif wa ar-roqoiq, Abdul Rahman Bakr, hal 5

[+/-] Selengkapnya...

Sikap Tawakal Imam Syafi'i

Ketika Imam Syafi'i datang ke Mesir, seseorang bernama Abdullah bin Hakam berkata kepadanya: "Jika Imam mau tinggal di Mesir, hendaklah Anda memiliki bahan makanan yang cukup untuk setahun. Dan milikilah majlis di tempat Sulthan sehingga Anda dapat dimuliakan karena Sulthan tersebut".

Maka Imam Syafi'I berkata: "Wahai Abu Ahmad, barangsiapa yang tidak menjadikan taqwa sebagai kemuliaan, maka tidak ada kemuliaan baginya. Sungguh aku telah dilahirkan di Ghazzah Palestina, aku dididik di Hijjaz dan kami tidak memiliki bahan makanan untuk mencukupi satu malam saja, tetapi kami tidak pernah kelaparan."

Sumber : Samirus Sholihin wa Aniisul Mukminin, Musthofa Fargholi Muhammad El-Syuqoiri

[+/-] Selengkapnya...

Di antara Nasehat Luqmanul Hakim

Luqmanul Hakim berkata kepada anaknya:

Wahai buah hatiku, sungguh aku memberimu enam kalimat:

  1. Berbuatlah terhadap kehidupan duniamu sekedar untuk tempat tinggal.
  2. Dan berbuatlah untuk akhiratmu karena engkau kekal di dalamnya.
  3. Beramal lah dengan ikhlas hanya karena Allah SWT karena engkau membutuhkanNya.
  4. Jika engkau berbuat maksiat, pikirkanlah akibatnya.
  5. Jika engkau meminta, mintalah pada Yang Tidak Butuh Siapapun (Allah SWT).
  6. Dan jika memang engkau hendak bermaksiat, pilihlah tempat di mana Allah tidak melihatmu.
Sumber : Kitab Samirus Sholihin wa Aniisul Mukminin, Musthofa Fargholi M. El-Syuqoiri

[+/-] Selengkapnya...

Panggilan Azan di atas Ranjang Kematian

Amir bin Abdullah bin Zubair terbaring lemah di pembaringannya. Desah nafasnya hanya menunggu waktu ajal menjemput. Keluarganya berkumpul di sekitarnya sambil menangis menatap kondisinya yang kritis. Amir begitu lemah dan tubuhnya tidak bisa digerakkan.

Ketika itu terdengarlah suara azan magrib berkumandang, dia berkata pada orang-orang di sekitarnya: “Tuntunlah aku”. Amir bin Abdullah bin Zubair terbaring lemah di pembaringannya. Desah nafasnya hanya menunggu waktu ajal menjemput. Keluarganya berkumpul di sekitarnya sambil menangis menatap kondisinya yang kritis. Amir begitu lemah dan tubuhnya tidak bisa digerakkan.

Ketika itu terdengarlah suara azan maghrib berkumandang, dia berkata kepada orang-orang di sekitarnya : "Tuntunlah aku!"

Mereka bertanya: “Ke mana?”.

Amir berkata: “Ke masjid”.

Mereka berkata: “Dalam kondisimu seperti ini?”.

Amir pun menjawab: “Subhanallah, aku mendengar panggilan untuk shalat dan aku tidak menjawabnya? Bimbinglah tanganku dan boponglah aku”. Maka ia shalat satu rakaat bersama imam, kemudian menghembuskan nafas terakhir dalam sujudnya..

Sumber : Kitab 300 Mauqif fii Az-Zuhd wa Ar-Roqoiq, Abdul Rahman Bakr, Hal 10


[+/-] Selengkapnya...

Kandungan Makna Syahadatain

Syahadatain begitu berat diperjuangkan oleh para sahabat dan Nabi SAW, bahkan mereka siap dan tidak takut terhadap segala ancaman orang kafir. Sahabat Nabi misalnya Hubaib berani menghadapi siksaan dengan dipotong tubuhnya satu persatu oleh Musailamah. Bilal bin Rabah tahan menerima himpitan batu besar di dadanya pada siang hari yang panas di padang pasir, dan sederetan nama sahabat lainnya yang menerima siksaan. Mereka mempertahankan syahadatain. Muncul pertanyaan kenapa mereka bersedia dan berani mempertahankan kalimat syahadat? Ini disebabkan karena kalimat syahadat mengandung makna yang mendalam bagi mereka. Syahadat bagi mereka dipahami dengan arti yang sebenarnya yang melingkupi pengertian ikrar, sumpah dan janji.

Mayoritas umat Islam mengartikan syahadat sebagai ikrar saja, apabila mereka tahu bahwa syahadat juga mengandung arti sumpah dan janji, serta tahu bahwa akibat sumpah dan janji maka mereka akan benar-benar mengamalkan Islam dan beriman. Iman sebagai dasar dan juga hasil dari pengertian syahadat yang benar. Iman merupakan pernyataan yang keluar dari mulut, juga diyakini dengan hati dan diamalkan oleh perbuatan. Apabila kita mengamalkan syahadat dan mendasarinya dengan iman dan konsisten dan istiqamah, maka beberapa hasil akan dirasakan, seperti keberanian, ketenangan, dan optimis dalam menjalani kehidupan. Kemudian Allah SWT memberikan kebahagiaan kepada mereka di dunia dan di akhirat. Berikut akan kami uraikan :


Kandungan Syahadat atau Madlul Asy-Syahadah mengandung tiga pengertian, yaitu :


1. Al-Iqraar (Pernyataan)


Iqraar yaitu suatu pernyataan seorang muslim mengenai apa yang diyakininya. Pernyataan ini sangat kuat karena didukung oleh Allah SWT, malaikat dan orang-orang yang berilmu, para nabi dan orang yang beriman. Hasil dari ikrar ini adalah kewajiban kita untuk menegakkan dan memperjuangkan apa yang diikrarkan Allah berfirman : "Allah SWT menyatakan bahwa tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu juga menyatakan demikian. Tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Perkasa Maha. Juga merupakan ikrar para Nabi yang mengakui kerasulan Muhammad SAW meskipun mereka hidup sebelum kedatangan Rasulullah SAW. Allah berfirman Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para Nabi: "Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang Rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya". Allah berfirman: "Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian Ku terhadap yang demikian itu?" Mereka menjawab: "Kami mengakui". Allah berfirman: " Kalau begitu saksikanlah (hai para Nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu". (QS 3:81).


2. Al-Qasam (Sumpah)


Sumpah yaitu pernyataan kesediaan menerima akibat dan resiko apapun dalam mengamalkan syahadat. Muslim yang menyebut asyhadu berarti siap dan bertanggungjawab dalam tegaknya Islam dan penegakan ajaran Islam. Pelanggaran terhadap sumpah ini adalah kemunafikan. Syahadat berarti sumpah. Orang-orang munafik berlebihan dalam pernyataan syahadat-nya padahal mereka tidak lebih sebagai pendusta. Sebagaimana firman Allah : "Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: "Kami mengakui bahwa sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar Rasul Allah". Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar pendusta. Mereka itu menjadikan sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan." (QS 63:1-2).


3. Al-Miitsaaq (Perjanjian yang Teguh)


Mitsaaq yaitu janji setia untuk mendengar dan taat dalam segala keadaan terhadap semua perintah Allah SWT yang terkandung di dalam Al-Qur'an maupun Sunnah Rasul. Syahadat adalah mitsaq yang harus diterima dengan sikap sam'an wa tho'atan (dengar dan taat) didasari oleh iman yang sebenarnya terhadap Allah SWT, malaikat, kitab-kitab, Rasul-rasul, hari akhir, dan Qadar baik maupun buruk. Pelanggaran terhadap miitsaaq ini berakibat laknat Allah SWT seperti yang pernah terjadi pada orang-orang Yahudi. Allah berfirman : "Dan ingatlah karunia Allah kepadamu dan perjanjian-Nya yang telah diikat-Nya dengan kamu, ketika kamu mengatakan "Kami dengar dan kami taati". Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui isi hati(mu)". (QS 5:7.)


Dari ketiga kandungan inilah akan melahir nilai keimanan yang benar. Iman adalah keyakinan tanpa keraguan, penerimaan menyeluruh tanpa rasa keberatan, kepercayaan tanpa pilihan lain terhadap semua keputusan Allah SWT. Iman adalah sikap hidup yang merupakan cermin identitas Islam. Iman sebagai dasar bagi seluruh kegiatan dan tingkah laku manusia agar mendapat ridha dari Allah SWT. Iman bukanlah hanya angan-angan, tetapi sesuatu yang tertanamkan di dalam hati dan harus diamalkan dalam bentuk amal produktif. Amal yang dikerjakan harus merupakan amal shalih yang dilakukan dengan ihsan dan penyerahan yang sempurna kepada kehendak Allah SWT. Dalam melakukan amal tersebut, seorang mukmin merasa dilindungi Allah SWT. Allah berfirman: "Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal shaleh, baik ia laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun. Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya. (QS 4:125.)


Di antara kekeliruan umat Islam adalah mencontoh sikap Yahudi. Misalnya merasa bahwa neraka merupakan siksaan yang sebentar sehingga tidak risau masuk neraka. Atau mereka akan masuk surga semata-mata karena imannya sehingga tidak perlu beramal shaleh lagi. Allah berfirman : "Dan mereka berkata: "Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja". Katakanlah: "Sudahkah kamu menerima janji dari Allah sehingga Allah tidak akan memungkiri janjiNya, ataukah kamu hanya mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?". (QS 2:80.)


Syahadat yang dinyatakan seorang muslim dengan penuh kesadaran sebagai sumpah dan janji setia ini merupakan ruh iman, yaitu ucapan (al-qoul), membenarkan (at-tashdiq) dan perbuatan (al-'amal).


1. Al-Qaul (Ucapan)


Ucapan yang senantiasa sesuai dengan isi hatinya yang suci. Perkataan maupun kalimat yang keluar dari lisannya yang baik serta mengandung hikmah. Syahadat diucapkan dengan penuh kebanggaan dan ketinggian iman (isti'la-ul iman) berangkat dari semangat isyhadu biannaa muslimuun (saya bersaksi bahwa saya adalah muslim). Ucapan lisan tanpa membenarkan dalam hati adalah sikap nifaq I'tiqadi, yaitu berbicara dengan mulutnya sesuatu yang tidak ada dalam hatinya. Firman Allah: "Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian". Padahal mereka itu sesungguhnya bukanlah orang-orang yang beriman. (QS 2:8)


2. At-Tashdiiq (Membenarkan)


Membenarkan dengan hati tanpa keraguan. Yaitu sikap keyakinan dan penerimaan dengan tanpa rasa keberatan atau pilihan lain terhadap apa yang didatangkan Allah SWT. "Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan RasulNya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar. (QS 49:15)


3. Amal (Perbuatan)


Perbuatan yang termotivasi dari hati yang ikhlas dan pemahaman terhadap maksud-maksud aturan Allah SWT. Amal merupakan cerminan dari kesucian hati dan upaya untuk mencari ridha Ilahi. Amal yang menunjukkan sikap mental dan moral Islami yang dapat dijadikan teladan.


Ketiga perkara di atas (ucapan, pembenaran dalam hati dan perbuatan) tidak terpisahkan sama sekali. Seorang muslim yang tidak membenarkan ajaran Allah SWT dalam hatinya bahkan membencinya, meskipun kelihatan mengamalkan sebagian ajaran Islam adalah munafiq i'tiqadi yang terlaknat. Muslim yang meyakini kebenaran ajaran Islam dan menyatakan syahadatnya dengan lisan tapi tidak mengamalkan dalam kehidupan adalah munafiq 'amali. Sifat nifaq dapat terjadi sementara terhadap orang muslim oleh karena berdusta, menyalahi janji atau berkhianat.


Imam Hasan Basri berkata: "Iman bukanlah angan-angan, bukan pula sekedar hiasan. Tetapi iman adalah keyakinan yang hidup di dalam hati dan dibuktikan dalam amal perbuatan.


Keimanan seorang muslim yang mencakupi tiga unsur di atas harus senantiasa dipelihara dan dijaga dengan sikap istiqamah. Istiqamah artinya tidak menyimpang atau cenderung pada kekufuran. Istiqamah berarti konsisten dalam menegakkan agama Allah dan tidak ragu dalam mengamalkan nilai Islam yang dianutnya. Tetap teguh, tahan dan kuat dalam menghadapi dan melaksanakan perintah Allah SWT, serta mampu menghadapi segala cobaan. Istiqamah juga berarti terus berjuang menyampaikan ajaran Allah SWT dengan tidak mengikuti hawa nafsu.

Allah berfirman: "Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah bertaubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan. (QS 11:112-113.)

Maka dari sikap istiqomah itu akan menghasilkan beberapa hal, berupa sikap syaja'ah, ithmi'nan dan tafa'ul.


1. Asy-Syajaa'ah (Keberanian)


Keberanian muncul karena keyakinan sebagai hamba Allah SWT yang selalu dibela dan didukung oleh Allah SWT. Tidak takut menghadapi tantangan hidup, siap berjuang untuk tegaknya yang haq (kebenaran). Keberanian juga bersumber kepada keyakinan terhadap Qadha' dan Qadar Allah SWT yang pasti. Tidak takut pada kematian karena kematian di jalan Allah SWT merupakan anugerah yang selalu dirindukannya.


Orang yang beristiqamah didukung malaikat yang akan menjadikannya berani, tenang dan optimis Sumber keyakinan tentang Qadha dan Qadar yang menimbulkan keberanian, kecelakaan atau kemudharatan hanyalah ketentuan Allah SWT belaka.


Allah berfirman: "Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka (istiqamah), maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): "Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih. Dan gembirakanlah mereka dengan (memperoleh) surga yagn telah dijanjikan Allah kepadamu". QS 41:30


2. Al-Ithmi'naan (Ketenangan)


Ketenangan berasal dari keyakinan terhadap perlindungan Allah SWT yang memelihara orang-orang mukmin secara lahir dan batin. Dengan senantiasa ingat pada Allah SWT dan selalu berpanduan kepada petunjukNya, maka ketenangan akan selalu hidup dalam hatinya.


Ketenangan yang diperoleh karena tawakkal terhadap janji perlindungan Allah yang pasti sehingga timbul pula keberanian menghadapi musuh. QS 47:7. Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. Ibnu Taimiyah berkata: "Apa yang dilakukan musuh-musuhku terhadapku? Sesungguhnya kematianku adalah syahid. Penjaraku adalah rasa manis, sedangkan pengusiran bagiku adalah bertamasya".


3. At-Tafaaul (Optimis)


Optimis meyakini bahwa masa depan adalah milik orang-orang yang beriman. Kemenangan umat Islam dan kehancuran kaum kuffar sudah pasti. Mukmin menyadari bahwa amal perbuatan yang dilakukannya tidak akan sia-sia, melainkan pasti dibalas oleh Allah SWT dengan pembalasan yang sempurna. Optimis bahwa dengan pertolongan Allah SWT tak akan ada yang dapat mengalahkan. Seperti contoh optimisme para sahabat Rasul di perang Ahzab. Allah berfirman :. "Jika Allah menolong kamu, maka tak ada orang yang dapat mengalahkan kamu. Jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal" (QS 3:160)


Ketiga hasil istiqamah tadi akan membuat kebahagiaan bagi orang yang memilikinya. Jadi hanya syahadat sejati yang dapat menimbulkan sa'adah (kebahagiaan). Hanya Islam dengan konsep syahadat yang dapat memberikan kebahagiaan pada manusia di dunia maupun di akhirat.


Al-Quran menyebutkan bahwa orang-orang beriman akan mendapatkan kebahagiaan atau hasanah di dunia maupun di akhirat. Allah berfirman: "Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan kematian. Dan sesungguhnya pada harikiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sesungguhnya ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan". QS 3:185.

[+/-] Selengkapnya...