Telah cukup panjang pembahasan kita tentang syahadat, dan telah kita bahas dalam beberapa edisi. Pembahasan yang begitu panjang ini akan membawa kita pada sebuah pemahaman penting tentang sebuah ucapan dari kalimat yang begitu agung yang sering kita dengar di telinga kita, bahkan membangunkan kita pada saat waktu subuh menjelang.
Dua kalimat syahadat merupakan keyakinan yang tertanam di lubuk hati setiap muslim. Ia terdiri dari dua bagian yaitu pengakuan bahwa tiada ilah (tuhan) yang berhak disembah selain Allah SWT dan pengakuan bahwa Muhammad adalah Rasulullah. Iman bukan merupakan angan-angan tetapi menuntut perbuatan yang mencerminkan nilai-nilai iman tersebut. Nilai iman adalah nilai kalimat syahadatain yang mesti tegak dan diamalkan secara baik dalam kehidupan.
Nilai kalimat syahadat ini dapat tereralisasi jika seseorang memiliki interaksi yang kuat dengan Al-Quran, kedekatan dengan Al-Quran mendorong seseorang untuk tidak sekedar membaca, namun menjadikan tuntunan Al-Quran adalah pedoman hidupannya.
Maka ketika naungan Al-Quran bersamanya, ia akan mendapat kebahagiaan sesungguhnya di dunia dan akherat. Itulah yang di maksud dengan pewarnaan, hidupnya terwarnai dengan warna ilahi, dan warna ilahi itu akan ia dapatkan ketika ia mau mewarnai hidupnya dengan warna Al-Quran. Allah berfirman: “Shibghah (celupan) Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya (celupannya) daripada Allah? Dan hanya kepada-Nya lah kami menyembah”. (QS 2:138)
Bagian kedua dari syahadatain adalah Pengakuan Bahwa Muhammad Rasululllah ini adalah merupakan penerimaan secara ikhlas dan senang hati bahwa Muhammad SAW sebagai utusan Allah SWT.
Dengan penerimaan ini muncul kesediaan untuk menjadikan Rasulullah SAW sebagai teladan. Menjadikan sunahnya sebagai landasan kedua setelah Al-Quran. Ketika seorang telah menjadikan dua kalimat syahadat ini sebagai titik tolak perubahan dalam hidupnya, maka secara bersamaan ia akan menjadikan Al-Quran dan As-Sunah sebagai pedoman hidupnya.
Dengan keimanan yang benar maka perilaku dan kehidupan mukmin diwarnai oleh Allah SWT. Fenomenanya adalah berubahnya seluruh aktifitas hidupnya menjadi ibadah kepada Allah SWT.
Makna atas pemahaman syahadat yang telah masuk ke dalam diri seorang mukmin dan mewarnai hidupnya akan melahirkan perubahan yang menyeluruh pada diri dan hidupnya. Perubahan itu mencakup perubahan keyakinan, pemikiran, perasaan dan tingkah laku.
Pertama, Al-Inqilabul Al-I’tiqaadi (Perubahan Keyakinan)
Sebelum melafazkan syahadat dan memahaminya mungkin seorang berkeyakinan bahwa loyalitas dan ketaatan dapat diberikan kepada tanah air, bangsa, masyarakat, seni, ilmu dan sebagainya, di samping mengabdi kepada Allah SWT. Tetapi setelah bersyahadat ia melepaskan semua itu dan hanya menjadikan Allah SWT sebagai satu-satunya yang disembah, ditaati dan dimintai pertolongan di atas segalanya.
Kedua: Al-Inqilab Al-Fikri (Perubahan Pemikiran)
Sebelum meyakini syahadatnya mungkin ia berfikir boleh menerima syariat, aturan hidup dan perundang-undangan bersumber kepada adat istiadat datuk atau nenek moyang, pemikiran jahiliyah dari ilmuwan dan filosof, hawa nafsu penguasa dan sebagainya. Setelah memahami dengan benar kandungan dari makna syahadatain maka ia hanya mengikuti pola fakir Islam yang bersumber dari Allah SWT dan RasulNya, kemudian hasil ijtihad orang-orang mukmin yang sesuai dengan bimbingan Allah SWT dan Rasul.
Ketiga: Al-Inqilab Asy-Syu’uri (Perubahan Perasaan)
Sebelum memahami syahadatain ini mungkin perasaannya yang berupa cinta, takut, benci, marah, sedih atau senang ditentukan oleh situasi dan kondisi yang menimpa dirinya atau keadaan di sekelilingnya. Misalnya, ia senang mendapat keuntungan dari hasil usahanya, mendapat baju yang paling trendy, mendapat profesi yang menguntungkan. Sedih karena hilangnya kekayaan, merasa hina karena kemiskinan dan sebagainya.
Maka setelah menghayati makna syahadatain, tiada yang menyenangkan dan menyedihkan melainkan semua terkait dengan ketentuan dan takdir Allah SWT. Maka ia sedih bila ada yang masuk ke dalam kekufuran, sedih bila ada muslim yang disakiti, sedih memikirkan nasib kaum muslimin yang terzholimi oleh orang kafir dan zionis. Dan sebaliknya, ia merasa senang dengan kemajuan dakwah, kebangkitan umat dan sebagainya.
Keempat: Al-Inqilab As-Suluuki (Perubahan Tingkah Laku)
Sebelum mengerti kandungan syahadatain, mungkin tingkah laku seseorang mengikuti hawa nafsunya, menuruti bagaimana kondisi lingkungan. Berpakaian, bersikap, bergaul, mengisi waktu dengan kebiasaan-kebiasaan jahilyah yang tidak ada tuntunannya dari Islam. Tetapi setelah mengerti syahadatain ini ia berubah. Tingkah lakunya mencerminkan akhlak Islam, pergaulannya mengikuti syariah, waktunya diisi dengan hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya maupun orang lain.
Dengan adanya perubahan pada empat hal di atas maka seseorang akan memiliki kepribadian yang Islami. Pribadi ini mendasarkan keyakinan, bentuk berfikir, emosi, sikap, pandangan, tingkah laku, pergaulan dan masalah apa saja dengan dasar Islam. Akhlak pribadi yang Islami terdapat dalam diri Rasulullah. Nabi SAW memiliki akhlak yang disenangi oleh musuh atau kawan, justru dengan akhlak Nabi ini dapat menarik manusia kafir untuk mengikuti Islam.
Tatkala seorang muslim telah memiliki kepribadian Islami yang utuh, maka ia akan memiliki nilai di sisi Allah SWT. Pribadi-pribadi ini dalam jumlah yang banyak bergabung menjadi umat. Bila umat Islam telah memiliki banyak pribadi seperti ini ia akan diperhitungkan oleh lawan-lawannya. Umat seperti ini mampu membawa amanah dan menjalankan perannya sebagai pembawa kemakmuran dan kesejahteraan bagi semesta alam.
Wallahu a’lam bisshowab
Dua kalimat syahadat merupakan keyakinan yang tertanam di lubuk hati setiap muslim. Ia terdiri dari dua bagian yaitu pengakuan bahwa tiada ilah (tuhan) yang berhak disembah selain Allah SWT dan pengakuan bahwa Muhammad adalah Rasulullah. Iman bukan merupakan angan-angan tetapi menuntut perbuatan yang mencerminkan nilai-nilai iman tersebut. Nilai iman adalah nilai kalimat syahadatain yang mesti tegak dan diamalkan secara baik dalam kehidupan.
Nilai kalimat syahadat ini dapat tereralisasi jika seseorang memiliki interaksi yang kuat dengan Al-Quran, kedekatan dengan Al-Quran mendorong seseorang untuk tidak sekedar membaca, namun menjadikan tuntunan Al-Quran adalah pedoman hidupannya.
Maka ketika naungan Al-Quran bersamanya, ia akan mendapat kebahagiaan sesungguhnya di dunia dan akherat. Itulah yang di maksud dengan pewarnaan, hidupnya terwarnai dengan warna ilahi, dan warna ilahi itu akan ia dapatkan ketika ia mau mewarnai hidupnya dengan warna Al-Quran. Allah berfirman: “Shibghah (celupan) Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya (celupannya) daripada Allah? Dan hanya kepada-Nya lah kami menyembah”. (QS 2:138)
Bagian kedua dari syahadatain adalah Pengakuan Bahwa Muhammad Rasululllah ini adalah merupakan penerimaan secara ikhlas dan senang hati bahwa Muhammad SAW sebagai utusan Allah SWT.
Dengan penerimaan ini muncul kesediaan untuk menjadikan Rasulullah SAW sebagai teladan. Menjadikan sunahnya sebagai landasan kedua setelah Al-Quran. Ketika seorang telah menjadikan dua kalimat syahadat ini sebagai titik tolak perubahan dalam hidupnya, maka secara bersamaan ia akan menjadikan Al-Quran dan As-Sunah sebagai pedoman hidupnya.
Dengan keimanan yang benar maka perilaku dan kehidupan mukmin diwarnai oleh Allah SWT. Fenomenanya adalah berubahnya seluruh aktifitas hidupnya menjadi ibadah kepada Allah SWT.
Makna atas pemahaman syahadat yang telah masuk ke dalam diri seorang mukmin dan mewarnai hidupnya akan melahirkan perubahan yang menyeluruh pada diri dan hidupnya. Perubahan itu mencakup perubahan keyakinan, pemikiran, perasaan dan tingkah laku.
Pertama, Al-Inqilabul Al-I’tiqaadi (Perubahan Keyakinan)
Sebelum melafazkan syahadat dan memahaminya mungkin seorang berkeyakinan bahwa loyalitas dan ketaatan dapat diberikan kepada tanah air, bangsa, masyarakat, seni, ilmu dan sebagainya, di samping mengabdi kepada Allah SWT. Tetapi setelah bersyahadat ia melepaskan semua itu dan hanya menjadikan Allah SWT sebagai satu-satunya yang disembah, ditaati dan dimintai pertolongan di atas segalanya.
Kedua: Al-Inqilab Al-Fikri (Perubahan Pemikiran)
Sebelum meyakini syahadatnya mungkin ia berfikir boleh menerima syariat, aturan hidup dan perundang-undangan bersumber kepada adat istiadat datuk atau nenek moyang, pemikiran jahiliyah dari ilmuwan dan filosof, hawa nafsu penguasa dan sebagainya. Setelah memahami dengan benar kandungan dari makna syahadatain maka ia hanya mengikuti pola fakir Islam yang bersumber dari Allah SWT dan RasulNya, kemudian hasil ijtihad orang-orang mukmin yang sesuai dengan bimbingan Allah SWT dan Rasul.
Ketiga: Al-Inqilab Asy-Syu’uri (Perubahan Perasaan)
Sebelum memahami syahadatain ini mungkin perasaannya yang berupa cinta, takut, benci, marah, sedih atau senang ditentukan oleh situasi dan kondisi yang menimpa dirinya atau keadaan di sekelilingnya. Misalnya, ia senang mendapat keuntungan dari hasil usahanya, mendapat baju yang paling trendy, mendapat profesi yang menguntungkan. Sedih karena hilangnya kekayaan, merasa hina karena kemiskinan dan sebagainya.
Maka setelah menghayati makna syahadatain, tiada yang menyenangkan dan menyedihkan melainkan semua terkait dengan ketentuan dan takdir Allah SWT. Maka ia sedih bila ada yang masuk ke dalam kekufuran, sedih bila ada muslim yang disakiti, sedih memikirkan nasib kaum muslimin yang terzholimi oleh orang kafir dan zionis. Dan sebaliknya, ia merasa senang dengan kemajuan dakwah, kebangkitan umat dan sebagainya.
Keempat: Al-Inqilab As-Suluuki (Perubahan Tingkah Laku)
Sebelum mengerti kandungan syahadatain, mungkin tingkah laku seseorang mengikuti hawa nafsunya, menuruti bagaimana kondisi lingkungan. Berpakaian, bersikap, bergaul, mengisi waktu dengan kebiasaan-kebiasaan jahilyah yang tidak ada tuntunannya dari Islam. Tetapi setelah mengerti syahadatain ini ia berubah. Tingkah lakunya mencerminkan akhlak Islam, pergaulannya mengikuti syariah, waktunya diisi dengan hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya maupun orang lain.
Dengan adanya perubahan pada empat hal di atas maka seseorang akan memiliki kepribadian yang Islami. Pribadi ini mendasarkan keyakinan, bentuk berfikir, emosi, sikap, pandangan, tingkah laku, pergaulan dan masalah apa saja dengan dasar Islam. Akhlak pribadi yang Islami terdapat dalam diri Rasulullah. Nabi SAW memiliki akhlak yang disenangi oleh musuh atau kawan, justru dengan akhlak Nabi ini dapat menarik manusia kafir untuk mengikuti Islam.
Tatkala seorang muslim telah memiliki kepribadian Islami yang utuh, maka ia akan memiliki nilai di sisi Allah SWT. Pribadi-pribadi ini dalam jumlah yang banyak bergabung menjadi umat. Bila umat Islam telah memiliki banyak pribadi seperti ini ia akan diperhitungkan oleh lawan-lawannya. Umat seperti ini mampu membawa amanah dan menjalankan perannya sebagai pembawa kemakmuran dan kesejahteraan bagi semesta alam.
Wallahu a’lam bisshowab
3 komentar:
aslm.w.w. salam kenal akhi, ana joko dari jakarta,mhn izin DL materinya mo ngisi hari ini jzk.
nb:ana baru bbrapa bln interaksi dgn internet sblmny tdk. ana dpt amanah di asosiasi satuan pemeriksa intern indonesia bidang kesehatan (ASPI-BK)u bwt web tp ana gatek. ada saran?. one more jzk.
Jadi cuman yakin yakin aja...
Ketika Rasulullah Saw. menantang berbagai keyakinan bathil dan pemikiran rusak kaum musyrikin Mekkah dengan Islam, Beliau dan para Sahabat ra. menghadapi kesukaran dari tangan-tangan kuffar. Tapi Beliau menjalani berbagai kesulitan itu dengan keteguhan dan meneruskan pekerjaannya.
Posting Komentar