Di sini, Di Dalam Jiwa ini…
Sesungguhnya termasuk kebaikan jiwaku adalah pengetahuanku
tentang kerusakan jiwaku. (Wahid bin Wurd)
Kita banyak tahu tentang kebaikan, bahkan kita sering ingin melakukannya. Tapi jujur saja,kita masih sering gagal untuk menunaikannya. Seperti juga keburukan, kita tahu bahwa itu tidak boleh dilakukan. Tetapi, justru kita terdorong untuk melakukannya. Kita sering lepas kendali mengawal diri sendiri.
Sulit mengatasi kecendrungan yang berulangkali mengajak pada suasana yang sebenarnya kita sendiri tidak ingin ada di dalamnya. Entahlah, seolah ada kekuatan lain yang lebih kuat dalam membentuk dan mengendalikan diri kita. Itulah inti masalah yang kita hadapi, kita kerap gagal dan tak mampu mengendalikan diri kita sendiri. Tepat seperti ungkapan orang-orang bijak “Musuh kita adalah diri kita sendiri”.
Padahal kemampuan mengendalikan diri menurut Rasulullah adalah parameter seseorang untuk bisa disebut kuat atau lemah. ”Orang yang kuat itu bukan yang menang dalam pertarungan, api orang yang mampu mengendalikan amarahnya.”
Amru bin Ahtam, seorang ulama dikalangan Tabi’in, menyebut orang yang mampu menundukkan nafsunya dengan istilah asyja’u rijal atau orang yang paling berani. Ia pernah di Tanya oleh Mu’awiyah :”Siapa orang yang paling berani?” Amru bin Atham menjawab :”Orang yang bisa menolak kebodohan dirinya dengan sikap lapang dada yang dimilikinya. Dialah orang yang paling berani.” (Al Hilm, Ibnu Abi Dunia, 31)
Apa yang harus kita lakukan untuk mengembalikan kepemimpinan pada diri kita sendiri? Jawabannya sama dengan apa yang harus kita lakukan ketika berhadapan dengan musuh. Tak ada jalan lain, kecuali diperangi. Para ulama kerap mengistilahkan perang batin ini dangan mujahadah. Perang batin jelas berbeda dengan perang zahir, musuh di perang zahir dapat dilihat dan tipu dayanya dapat diidentifikasi lewat akal dan penglihatan kita. Tapi musuh batin tidak sama demikian halnya.
Dalam beberapa sisi, perang melawan batin justru jauh lebih hebat disbanding perang zahir. Alasannya, medan perangnya ada di dalam diri kita sendiri. Serangan, tikaman dan ledakannya bisa terjadi di dalam diri kita, setiap waktu dan bisa bertubi-tubi. Walaupun tidak terdengar dentumannya, tapi akibatnya sangat berbahaya. Justru kebanyakan orang yang mampu mengalahkan musuh zahir, ternyata gagal mengalahkan musuh batinnya sendiri. Ia tak mampu mengalahkan hawa nafsunya sendiri.
Kita akan semakin mengerti, betapa hebatnya perang melawan hawa nafsu yang sulit dideteksi. Seorang pemuda pernah bertanya kepada ustadz Fathy Yakan juru dakwah terkenal asal Yordania. “Saya gagal, putus asa, tidak sempurna dalam berbagai amal karna saya selalu dihantui perasaan riya.” Kata pemuda itu. Ia bahkan berniat akan mengurangi amal ibadahnya dan aktivitas dakwahnya supaya tidak terjerumus pada sikap riya. Ustadz Fathy Yakan menjawab.” Siapa manusia yang tidak pernah terganggu riya? Kita manusia, semua mengalaminya.” Ia lantas mengutip sebuah hadis Rasulullah, “Andai manusia tidak melakukan kesalahan niscaya Allah aka datangkan satu kaum yang melakukan kesalahan kemudian mereka bertaubat dan Allah menerima taubat mereka.” (HR Muslim dan Ahmad)
Tentu saja, hadits itu tidak untuk menyepelekan sebuah dosa termasuk riya. Tapi hadits itu lebih mengarahkan pada dorongan untuk melakukan perbaikan dan taubat. Fathy Yakan mengatakan, “Ibadah dan amalan kebaikan itu sendiri merupakan bagian dari terapi yang ampuh atas dosa yang engkau lakukan.” Perhatikanlah bagaimana jawaban Rasulullah r tatkala ada seorang pemuda yang bertanya padanya, “Ya Rasulullah, bagaimana jika ada seorang yang melakukan shalat malam, tapi waktu siang ia mencuri?“ Apa jawaban Rasulullah? “‘Amaluhu yanhahu ‘amma taquulu,”amal ibadahnya akan mengahalanginya dari mencuri”.
Jawaban ini sama seperti yang pernah dikatakan oleh seorang Salafushalih tatkala seorang bertanya padanya, “mana yang lebih baik apakah saya yang melakukan sujud tilawah namun orang-orang melihat saya dan saya khawatir riya, atau saya tidak melakukan sujud sehingga saya terhindar dari riya?” Orang shalih itu menjawab, ”Lakukan sujud tilawah dan lawan bisikan syaitan dalam dirimu.”
Apa inti jawaban para ulama terhadap rongrongan hawa nafsu itu? Lawan. Jangan pernah menyerah terhadap dorongan negative hawa nafsu. Ini adalah perang yang tak pernah usai dan tak boleh berhenti. Berhenti atau mengurangi amal ibadah, berarti keluar dari lingkup pemeliharaan dan perlindungan Allah. Artinya, seseorang akan cenderung terpuruk lebih jauh dari apa yang dikeluhkan akibat melakukan kesalahan. Ia telah memilih jalan kearah kesesatan, bukan jalan hidayah. Semoga Allah menghindarkan kita semua dari pilihan seperti itu.
Tentu saja kita harus teta memikirkan sebab-sebab yang menjadikan kita terjerumus pada satu dosa. Ini penting karena menurut Hasan Al Bashri, “Seorang hamba selalu berada dalam kebaikan selama ia mengetahui apa yang merusak amal-amalnya.” Ini adalah awal cara untuk mengobati semua masalah, yakni dengan mengetahui sebabnya. Bahkan ini juga merupakan satu bagian dari terapi kesalahan kita. Itulah yang diutarakan oleh Wahid bin wurd, “Inna min shalahi nafsi, ilmiibifasaadihaa..” Sesungguhnya termasuk kebaikan jiwaku adalah pengetahuanku tentang kerusakan jiwaku.
Betapa indah dan bijaknya nasehat sahabat Rasulullah, Ali bin Abi Thalib,” Hati terkadang memiliki kecenderungan menerima dan terkadang menolak. Bila ia dalam kondisi menerima, ajak ia untuk melakukan ibadah yang sunnah. Tapi jika ia dalam kondisi menolak, ajak dia untuk melakukan yang waib saja. Sampai kondisi menolak itu hilang, ajaklah ia kembali untuk melakukan yang sunnah.”
Saudaraku, Gendering perang itu telah lama bertalu disini, di dalam jiwa kita ini. Bersiap siagalah selalu.
(dinukil dari buku mencari mutiara didasar hati, karya Muhammad Nursani)
Sesungguhnya termasuk kebaikan jiwaku adalah pengetahuanku
tentang kerusakan jiwaku. (Wahid bin Wurd)
Kita banyak tahu tentang kebaikan, bahkan kita sering ingin melakukannya. Tapi jujur saja,kita masih sering gagal untuk menunaikannya. Seperti juga keburukan, kita tahu bahwa itu tidak boleh dilakukan. Tetapi, justru kita terdorong untuk melakukannya. Kita sering lepas kendali mengawal diri sendiri.
Sulit mengatasi kecendrungan yang berulangkali mengajak pada suasana yang sebenarnya kita sendiri tidak ingin ada di dalamnya. Entahlah, seolah ada kekuatan lain yang lebih kuat dalam membentuk dan mengendalikan diri kita. Itulah inti masalah yang kita hadapi, kita kerap gagal dan tak mampu mengendalikan diri kita sendiri. Tepat seperti ungkapan orang-orang bijak “Musuh kita adalah diri kita sendiri”.
Padahal kemampuan mengendalikan diri menurut Rasulullah adalah parameter seseorang untuk bisa disebut kuat atau lemah. ”Orang yang kuat itu bukan yang menang dalam pertarungan, api orang yang mampu mengendalikan amarahnya.”
Amru bin Ahtam, seorang ulama dikalangan Tabi’in, menyebut orang yang mampu menundukkan nafsunya dengan istilah asyja’u rijal atau orang yang paling berani. Ia pernah di Tanya oleh Mu’awiyah :”Siapa orang yang paling berani?” Amru bin Atham menjawab :”Orang yang bisa menolak kebodohan dirinya dengan sikap lapang dada yang dimilikinya. Dialah orang yang paling berani.” (Al Hilm, Ibnu Abi Dunia, 31)
Apa yang harus kita lakukan untuk mengembalikan kepemimpinan pada diri kita sendiri? Jawabannya sama dengan apa yang harus kita lakukan ketika berhadapan dengan musuh. Tak ada jalan lain, kecuali diperangi. Para ulama kerap mengistilahkan perang batin ini dangan mujahadah. Perang batin jelas berbeda dengan perang zahir, musuh di perang zahir dapat dilihat dan tipu dayanya dapat diidentifikasi lewat akal dan penglihatan kita. Tapi musuh batin tidak sama demikian halnya.
Dalam beberapa sisi, perang melawan batin justru jauh lebih hebat disbanding perang zahir. Alasannya, medan perangnya ada di dalam diri kita sendiri. Serangan, tikaman dan ledakannya bisa terjadi di dalam diri kita, setiap waktu dan bisa bertubi-tubi. Walaupun tidak terdengar dentumannya, tapi akibatnya sangat berbahaya. Justru kebanyakan orang yang mampu mengalahkan musuh zahir, ternyata gagal mengalahkan musuh batinnya sendiri. Ia tak mampu mengalahkan hawa nafsunya sendiri.
Kita akan semakin mengerti, betapa hebatnya perang melawan hawa nafsu yang sulit dideteksi. Seorang pemuda pernah bertanya kepada ustadz Fathy Yakan juru dakwah terkenal asal Yordania. “Saya gagal, putus asa, tidak sempurna dalam berbagai amal karna saya selalu dihantui perasaan riya.” Kata pemuda itu. Ia bahkan berniat akan mengurangi amal ibadahnya dan aktivitas dakwahnya supaya tidak terjerumus pada sikap riya. Ustadz Fathy Yakan menjawab.” Siapa manusia yang tidak pernah terganggu riya? Kita manusia, semua mengalaminya.” Ia lantas mengutip sebuah hadis Rasulullah, “Andai manusia tidak melakukan kesalahan niscaya Allah aka datangkan satu kaum yang melakukan kesalahan kemudian mereka bertaubat dan Allah menerima taubat mereka.” (HR Muslim dan Ahmad)
Tentu saja, hadits itu tidak untuk menyepelekan sebuah dosa termasuk riya. Tapi hadits itu lebih mengarahkan pada dorongan untuk melakukan perbaikan dan taubat. Fathy Yakan mengatakan, “Ibadah dan amalan kebaikan itu sendiri merupakan bagian dari terapi yang ampuh atas dosa yang engkau lakukan.” Perhatikanlah bagaimana jawaban Rasulullah r tatkala ada seorang pemuda yang bertanya padanya, “Ya Rasulullah, bagaimana jika ada seorang yang melakukan shalat malam, tapi waktu siang ia mencuri?“ Apa jawaban Rasulullah? “‘Amaluhu yanhahu ‘amma taquulu,”amal ibadahnya akan mengahalanginya dari mencuri”.
Jawaban ini sama seperti yang pernah dikatakan oleh seorang Salafushalih tatkala seorang bertanya padanya, “mana yang lebih baik apakah saya yang melakukan sujud tilawah namun orang-orang melihat saya dan saya khawatir riya, atau saya tidak melakukan sujud sehingga saya terhindar dari riya?” Orang shalih itu menjawab, ”Lakukan sujud tilawah dan lawan bisikan syaitan dalam dirimu.”
Apa inti jawaban para ulama terhadap rongrongan hawa nafsu itu? Lawan. Jangan pernah menyerah terhadap dorongan negative hawa nafsu. Ini adalah perang yang tak pernah usai dan tak boleh berhenti. Berhenti atau mengurangi amal ibadah, berarti keluar dari lingkup pemeliharaan dan perlindungan Allah. Artinya, seseorang akan cenderung terpuruk lebih jauh dari apa yang dikeluhkan akibat melakukan kesalahan. Ia telah memilih jalan kearah kesesatan, bukan jalan hidayah. Semoga Allah menghindarkan kita semua dari pilihan seperti itu.
Tentu saja kita harus teta memikirkan sebab-sebab yang menjadikan kita terjerumus pada satu dosa. Ini penting karena menurut Hasan Al Bashri, “Seorang hamba selalu berada dalam kebaikan selama ia mengetahui apa yang merusak amal-amalnya.” Ini adalah awal cara untuk mengobati semua masalah, yakni dengan mengetahui sebabnya. Bahkan ini juga merupakan satu bagian dari terapi kesalahan kita. Itulah yang diutarakan oleh Wahid bin wurd, “Inna min shalahi nafsi, ilmiibifasaadihaa..” Sesungguhnya termasuk kebaikan jiwaku adalah pengetahuanku tentang kerusakan jiwaku.
Betapa indah dan bijaknya nasehat sahabat Rasulullah, Ali bin Abi Thalib,” Hati terkadang memiliki kecenderungan menerima dan terkadang menolak. Bila ia dalam kondisi menerima, ajak ia untuk melakukan ibadah yang sunnah. Tapi jika ia dalam kondisi menolak, ajak dia untuk melakukan yang waib saja. Sampai kondisi menolak itu hilang, ajaklah ia kembali untuk melakukan yang sunnah.”
Saudaraku, Gendering perang itu telah lama bertalu disini, di dalam jiwa kita ini. Bersiap siagalah selalu.
(dinukil dari buku mencari mutiara didasar hati, karya Muhammad Nursani)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar